Wednesday 30 January 2013

Belajar Dari Orang - Orang Mulia



Kemulian mungkin adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dikejar oleh manusia dalam menjalankan hidup. Banyak orang yang rela melakukan apa saja agar dipandang mulia oleh orang lain.  Bahkan mungkin, ada yang hidupnya disibukkan membangun citra. Waktunya selalu disibukkan dengan memperbaiki penampilan fisik agar dipandang baik dimata umum. Disibukkan dengan penampilan luar tapi lupa untuk meningkatkan kualitas diri. 

Banyak persepsi yang berkembang mengenai bagaimana memperoleh kemulian. Sebagian orang menganggap kemulian dapat diraih oleh orang – orang kaya, ada lagi yang menganggap mereka yang memiliki kedudukan dan kekuasaanlah yang bisa menjadi mulia. Tapi satu hal yang dapat disimpulkan bahwa banyak orang yang menilai bahwa kemul;ian dapat diraih dengan berbagai kelebihan yang bersifat fisik. 

Islam tidak kekurangan contoh – contoh nyata tentang orang – orang yang mampu meraih kemulian dan nama mereka dikenang sampai saat ini, baik dalam kondisi yang lapang maupun dalam kondisi kekurangan. Ditulisan ini,ingin sedikit berbagi cerita orang – orang yang meraih kemulian ditengah – tengah kekurangan yang dimiliki. 

Tidak salah jika banyak orang mengatakan bahwa dengan kekayaan yang dimiliki banyak kebaikan yang bisa dilakukan. Rumah ibadah akan mudah dibangun, bisa bersedekah untuk pembanguan rumah – rumah tahfidz. Selain itu dalam berjuang menegakkan agama Allah tidak hanya menggunakan jiwa tapi juga harus menggunakan harta. Dan dalam sejarah islam dan dakwah Rasul, diceritakan banyak orang – orang kaya yang mampu meraih kemulian. Hampir seluruh sahabat Rasul merupakan orang – orang kaya yang mampu meninfaqkan banyak harta mereka demi perjuangan dijalan Allah swt. Sebut saja seperti, Abu Bakar ra, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. 

Tapi jika ukuran kemulian seseorang dimata Allah swt hanyalah harta, kita tidak akan pernah mendengar kisah seorang pemuda yang cerdas dan merupakan generasi awal dalam dakwah islam pada masa Rasul. Kita tidak akan pernah mendengar kisah pemuda tersebut jika ukuran kemulian merupakan harta, karena pemuda tersebut tidak termasuk dalam sahabat yang kaya raya. bahkan kondisi ekonomi pemuda ini dikategorikan ekonomi sulit. Dialah Ali Bin Abi Thalib. Kahlifah ke empat dalam khulafaurasyidin dan sekaligus menantu dari bagi Rasul saw.
Ali ra bekerja sebagai penimba air, dimana setiap air yang bisa diangkatnya hanya dihargai sebutir kurma. Sebuah pekerjaan yang tidak ringan namun “hanya” dihargai sebutir kurma. Namun sepertinya tidak ada keluh kesah yang terlontar dari mulut Ali ra dan Istrinya Fathimah binti Muhammad saw. Bahkan ditengah – tengah kondisi yang sulit, mereka masih bisa bersedekah. Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya, seuntai kalung peninggalan sang bunda Khodijah, ketika kedatangan pengemis yang meminta belas kasihan padanya. Mengetahui hal tersebut Rasulullah saw tidak kuasa menahan air matanya. 

Disini kita bisa melihat, bahwa kemiskinan dari sisi harta bukanlah penyebab terhalangnya seseorang untuk mendapatkan kemulian dimata Allah swt. Kekayaan hanyalah satu pintu dari sekian banyak pintu untuk meraih kemulian. Dan hal itu telah dibuktikan dengan baik oleh Ali bin Abi Thalib. Kekurangannya dari satu sisi tidak menghentikan langkahnya untuk berkontribusi bagi kemajuan dakwah islam pada saat itu.

Sejarah islam juga dihiasi dengan kisah orang – orang mendapatkan kemulian dengan kekuasaan dan jabatan yang dimiliki. Sebut saja Sulaiman as, kekuasaan yang dimiliki olehnya merupakan yang terhebat yang pernah ada dalam sejarah kehidupan manusia. Tidak ada satu manusia pun yang mampu menandingi kekuasaan yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman as. Atas izin Allah swt, nabi Sulaiman memiliki kekuasaan atas tumbuhan,hewan dan jin. Dengan kekuasaan yang dimilikinya Nabi Sulaiman mampu membuat Ratu Bilqis negri saba’  beriman dan menyembah Allah swt. 

Ada pula kisah nabi Yusuf as yang diangkat menjadi bendahara negara pada saat itu. Sebuah posisi yang sangat strategis dengan kekuasaan yang cukup kuat. Dan semenjak sat itulah tugas – tugas kenabian Yusuf as mulai mengalami perkembangan yang cukup baik. Dakwah islam pada masa Rasulullah saw mengalami titik balik dari dakwah secara sembunyi – sembunyi menjadi dakwah terang – terangan ketika seorang yang memiliki kekuatan yang cukup disegani di mekkah, yaitu Umar Bin Khaththab.

Pertanyaannya sekarang, jika kemulian dalam islam hanya untuk orang – orang yang berkuasa dan kuat, maka akan sangat malang nasib seorang Bilal bin Rabbah. Seorang budak kulit hitam yang jangankan kekuasaan, hak atas dirinya pun tidak dimiliki oleh Bilal karena statusnya sebagai seorang budak. Tapi status sebagai seorang budak tidak mengurangi tekad dari sang budak untuk menyembah Allah swt dan memilih islam sebagai jalan hidup. Walaupun ia tahu resiko yang akan dihadapinya yaitu siksaan yang dapat saja berujung pada kematian.
Ditengah siksaan yang mendera, dibawah himpitan batu besar diteriknya padang pasir. Tidak sedikit pun keimanan dari Bilal memudar. Semakin keras cambukkan yang diterimanya, semaking kencang kata “ahad” diteriakannya. Sebuah kata sebagai bentuk pengakuan atas keesaan Allah swt. Selain itu bilal termasuk orang yang menjaga wudhunya dan membiasakan diri shalat sunnah dua Raka’at setelah berwudhu. 

Meski tidak memiliki kekuasaan sedahsyat nabi Sulaiman yang mampu mengislamkan negri Saba’. Tetapi Bilal memiliki cara lain dalam dakwahnya dengan suara dan lantunan adzan yang dikumandangkannya. Begitulah cara Bilal meraih kemuliannya dimata Allah swt. 

Kemuliaan tidak hanya dominasi mereka yang mempunyai wajah yang tampan, keahlian dalam bertutur kata yang memukau banyak orang serta kelebihan – kelebihan yang bersifat fisik lainnya. Kita mengenal nama Mush’ab bin umair, seorang pemuda tampan dan memiliki kemampuan yang baik dalam berbicara. Sehingga dengan kelebihan yang dimilikinya,ia mendapatkan tugas khusus dari Rasul yaitu menyiapkan kota madinah sebagai tempat hijrah bagi umat islam. Dengan kelebihan yang dimilikinya,Mush’ab menjalankan misi dakwah tersebut. Kurang dari satu tahun Madinah telah futuh dan siap untuk “menerima” rasul dan kaum muhajirin lainnya.

Kemuliaan juga bukan monopoli orang – orang yang memiliki kelebihan dari sisi fisik. Ada seorang sahabat Rasul yang bernama Zulaibib seorang yatim piatu yang tidak pernah tahu siapa orang tuanya dan tidak jelas nasabnya. Tampilan fisik dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya manusia berdekat-dekat dengannya. Wajahnya jelek terkesan sangar. Pendek. Bunguk. Hitam. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh. Tidur sembarangan berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tak ada perabotan. Minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak tangan.Begitulah kondisi dari Zulaibib, namun dibalik segala kekurangan yang dimiliki, dia termasuk salah satu sahabat yang sangat dicintai oleh Rasul saw. 

Dengan kondisi yang seperti itu, sangatlah sulit bagi seorang Zulaibib untuk mendapatkan istri. Hingga akhirnya dia meminta bantuan Rasul untuk meminangkan seorang gadis. Dan Rasul menyanggupi permintaan Zulaibib. Akhirnya dengan bantuan Rasul saw, Zulaibib menikah dengan putri seorang pemimpin anshar. Namun disinilah letak ujian untuk Zulaibib dan disinilah jalannya menuju kemuliaan terbentang. Disaat seharusnya ia merasakan kebahagian menikah terdengar seruan jihad. Maka dengan segera Zulaibib menyambut seruan tersebut hingga akhirnya ia syahid dimedan jihad. Zulaibib Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di seputarannya menjelempan tujuh jasad musuh yang telah ia bunuh. 

Begitulah cara Zulaibib menjemput kemuliaannya. Pribadi yang begitu banyak kekurangan fisik, dipandang sebelah mata dan mungkin sering terabaikan diantara sahabat – sahabat yang lain  tapi segala kekurangan tersebut tidak membuat Zulaibib hina dimata Allah dan Rasulnya. Tapi justru kemuliaan dimata Allah dan Rasul saw lah yang didapatkannya bahkan Sang Rasul, dengan tangannya sendiri mengafani Sang Syahid. Beliau saw menshalatkannya secara pribadi. Dan kalimat hari berbangkit. “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku. Dan aku adalah bagian dari dirinya.”

Contoh – contoh diatas telah menjadi pelajaran bagi kita semua. Mereka meraih kemuliaan bukan atas apa yang mereka miliki tetapi apa yang telah mereka lakukan untuk islam. Perjuangan dan keteguhan mereka dalam memegang teguh agama ini menjadi bukti shahih atas kemuliaan yang dimiliki. Pengorbanan yang dilakukan pun telah menggambarkan bagaimana Rasulullah saw menaruh penghargaan setingi – tingginya bagi mereka. 

Itulah beberapa contoh pribadi yang mampu meraih kemuliaan dimata Allah swt dalam kondisi yang sulit dan kondisi kekurangan. Kesulitan,kekurangan dan kelemahan bukan sebuah alasan untuk seseorang untuk tidak mulia dimata Allah swt. Karena sejatinya kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh siapa mereka atau apa yang mereka miliki. Tetapi kemuliaan seorang manusia dimata Allah ditentukan oleh apa yang telah mereka lakukan. Sehingga karya nyata bagi agama ini merupakan sebuah jalan untuk mendapatkan kemuliaan dimata Allah. 

semoga kita bisa menjadi pibadi – pribadi yang mulia dimata Allah swt dengan kerja – kerja nyata dan kontribusi yang kita lakukan dalam dakwah. Kerja dan kontribusi sebagai sebuah bagian dari sejarah kebangkitan islam.

Ajaran yang mereka bawa bertahan melebihi usia mereka. Boleh jadi usia para mujahid pembawa misi dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka. Apa artinya usia panjang namun tanpa isi, sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa 3 baris kata yang dipahatkan di nisan kita : “Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian, wafat tanggal sekian-sekian”.
(Syaikhut Tarbiyah Ustd Rahmat Abdullah)

Wallahu a’lam bishawab,

Friday 25 January 2013

Problema Internal Aktivis Dakwah



Masakah dan problematika bagi seorang aktivis dakwah seperti dua sisi mata uang. Seorang aktivis dakwah tidak akan pernah bisa melepaskan di dari masalah tiap waktunya. Karena bagi seorang aktivis dakwah hidup merupakan proses pergantian dari satu problema ke problema yang lainnya. Setidaknya problema – problema inilah yang sangat mungkin membuat seorang aktivis dakwah untuk keluar (insilah) dari jalan dakwah dan jamaah. Sehingga pilihan bijak bagi seorang aktivis dakwah bukanlah lari dari problema yang ada tapi dia harus mampu menghadapi dan menyelesaikan setiap problem yang melanda. 

Untuk dapat mengatasi problem yang akan menghampiri kita sebagai aktivis dakwah, maka hal pertama yang harus bisa kita lakukan adalah mengetahui problem apa saja yang bisa menghantam seorang aktivis dakwah. Setelah itu baru kita bisa menemukan solusi dari setiap problem tersebut. Setidaknya secara garis besar ada 2 (dua) problem yang bisa mengganggu kinerja atau bahkan membuat seorang aktivis dakwah keluar dari jalan dakwah. Pertama problem internal, yaitu problem yang berasal dari dalam diri aktivis dakwah tersebut. Dan yang kedua adalah problem eksternal,yaitu problem atau gangguan yang berasal dari luar individu aktivis dakwah. 

Dari dua problem tersebut, problem internal lebih berat ketimbang problema eksternal. Dan penyelesaian problema internal harus diselesaikan terlebih dahulu dibandingkan problema eksternal. Sebab,logikanya penyelasaian problema internal meghasilkan imunitas yang bagus bagi seorang aktivis dakwah, sehingga problema apapun yang datang dari luar akan dapat diselesaikan seiring dengan imunitas yang kuat dari individu aktivis dakwah tersebut. Sebaliknya ketika seorang aktivis dakwah tidak mampu menyelesaikan problema internalnya, maka dia memiliki imunitas yang buruk. Sehingga sedikit saja terkena masalah dari luar maka akan sangat mudah untuk masuk dalam golongan orang yang “berguguran” dijalan dakwah. 

Problematika internal yang sering dijumpai dalam jamaah dakwah adalah 1). gejolak kejiwaan, 2). ketidakseimbangan aktifitas, 3). latar belakang dan masa lau, 4). penyesuaian diri, dan5).  friksi internal.

Gejolak kejiwaan sebenarnya merupakan persoalan yang dimiliki oleh semua manusia biasa. Dan yang perlu disadari adalah para aktivis dakwah juga manusia biasa. Gejolak ini tidak bisa dimatikan sama sekali, tetapi perlu dikelola dengan baik agar tidak merugikan dakwah dan aktifis dakwah. Diantara gejolak kejiwaan itu adalah: Pertama, gejolak syahwat. Banyak orang yang terpeleset oleh gejolak ketertarikan pada lawan jenis ini. Bagi mereka yang belum menikah, gejolak ini biasanya lebih besar dan lebih berpeluang “menggoda.” Kedua, gejolak amarah. Seperti kisah Khalid saat menghadapi Jahdam dan pemuka bani Jazimah, gejolak amarah ini bisa berakibat fatal termasuk bagi citra dakwah, hubungan antar aktifis dakwah, dan terjadinya fitnah diantara kaum muslimin. Ketiga, gejolak heroisme. Semangat heroisme memang bagus dan sangat perlu, tetapi ketika sudah tidak proporsional ia akan mendatangkan sikap ekstrem yang berbahaya bagi kemaslahatan dakwah dan umat. Kasus pembunuhan terhadap Nuhaik yang dilakukan Usamah bin Zaid adalah contohnya. Keempat, gejolak kecemburuan. Seperti kecemburuan Anshar pada para mualaf yang mendapatkan hampir semua ghanimah perang Hunain, sikap ini bisa berefek pada melemahnya soliditas internal jamaah. Meskipun yang dicemburui oleh Anshar sebenarnya adalah perhatian Rasulullah dan bukan materi ghanimah-nya, gejolak ini segera diselesaikan Rasulullah karena jika dibiarkan bisa berdampak negatif.

Ketidakseimbangan aktifitas juga menimbulkan problematika tersendiri. Ketidakseimbangan antara aktifitas ruhaniyah dengan aktifitas lapangan, ketidakseimbangan antara dakwah di dalam dengan di luar rumah tangga, ketidakseimbangan antara aktifitas pribadi dengan organisasi, ketidakseimbangan antara amal tarbawi dengan amal siyasi, ketidakseimbangan antara perhatian terhadap aspek kualitas dengan kuantitas SDM; semuanya bisa berakibat negatif. Tawazun atau kesimbangan yang merupakan asas kehidupan, juga harus dipraktikkan dalam kehidupan berjamaah dan oleh semua aktifis dakwah.

Latar belakang dan masa lalu aktifis yang buruk bisa pula menjadi problematika internal dakwah jika tidak dilakukan langkah-langkah solutif. Latar belakang keagamaan keluarga, misalnya. Ia bisa berbentuk lemahnya tsaqafah Islam, tekanan keluarga yang menentang aktifitas dakwah, dan kerancuan dalam orientasi kehidupan. Sedangkan masa lalu yang “jahiliyah” bisa membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi kredibilitas sang aktifis dakwah. Solusi atas problem ini terangkum dalam kata “mujahadah.” Bagaimana seorang aktifis melakukan muhasabah, menyadari kelemahannya dan melakukan perbaikan diri. Masa lalu memang tidak bisa diubah, tetapi pengaruhnya bisa dikendalikan.

Problematika internal yang keempat adalah penyesuaian diri. Yakni penyesuaian diri terhadap karakteristik pendekatan dan sikap dakwah yang melekat pada masing-masing marhalah dan orbit dakwah. Sebagaimana corak dakwah yang berbeda antara fase Makkiyah dan Madaniyah, bahkan masa sirriyah dan jahriyah pada fase Makkah yang juga berbeda, dakwah saat ini juga mengalami hal yang sama; ada tahap-tahapnya. Antara mihwar tanzhimi yang berkonsentrasi pada konsolidasi internal dan mihwar muassasi yang konsen pada perjuangan politik membuat beberapa kader dakwah tidak mampu menyesuaikan diri. Hambatannya bisa karena sifat “kelambanan” kemanusiaan, kecenderungan jiwa, keterbatasan dan perbedaan tsaqafah, sampai keterbatasan kapasitas. Untuk mengatasi problem ini dibutuhkan peran kelembagaan dakwah. Jamaah dakwah perlu melakukan persiapan perubahan fase dakwah, mensosialisasikan cara pandang yang disepakati tentang batas-batas pengembangan dakwah sehingga jelas mana yang termasuk pengembangan (tathwir) dan mana yang termasuk penyimpangan (inhiraf). Jamaah dakwah juga harus mendefinisikan masa yang asholah dan tsawabit, serta mana yang mutaghayyirat.

Problem internal kelima adalah friksi internal. Friksi ini bisa timbul dari lingkungan yang kecil seperti intern sebuah lembaga dakwah, atau antarlembaga, atau antarpersonal pendukung dakwah. Banyak gerakan dakwah yang harus tutup usia dan kini tinggal nama karena problematika ini. Friksi dalam sejarah dakwah memberi beberapa pelajaran penting bagi kita: bahwa friksi merupakan indikasi kelemahan proses tarbiyah, friksi menandakan adanya kelemahan dalam penjagaan diri para aktifis dakwah, restrukturiasi dakwah tepat dilakukan terhadap orang-orang

yang telah memahami karakter dakwah itu sendiri, friksi juga bukti keberadaan ego manusia, penumbuhan al-wa’yul islami (kesadaran berislam) dan al-wa’yu ad-da’awi (kesadaran dakwah) lebih utama dibandingkan sekedar meletupkan hamasah (semangat) bergerak, dan sangat mungkin friksi timbul karena hadirnya pihak ketiga yang sengaja “memecah” jamaah.

Tulisan ini adalah hasil telaah dari buku “tegar Di jalan Dakwah” yang ditulis oleh Ustadz Cahyadi Takariawan.