Semua orang memilikinya, tapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Ia adalah sesuatu yang sangat mudah untuk dikatakan dan diceritakan tapi sangat sukar untuk diraih. Semua orang memilikinya tapi yang dimiliki oleh setiap orang akan sangat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karena ia akan sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dari pribadi tersebut. Ia adalah "Himah Aliyah" atau dikenal familiar dengan nama "cita - cita yang tinggi".
Semua orang sudah barang tentu punya cita - cita akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang menjadi cita - citanya. Semua orang tentu akan sangat gampang menceritakan apa yang menjadi cita - citanya, aka tetapi dalam praktek untuk mendapatkannya akan menjadi begitu sulit karena pelbagai tantangan. Semua orang punya cita - cita dan sudah pasti setiap orang punya cita - cita yang berbeda.
Dalam hal meraih cita - cita yang tinggi ini setidaknya dua hal yang kita perlukan. Pertama pengorbanan. Berbicara masalah cita - cita sudah tentu kita akan berbicara tentang pengorbanan. Apa yang sudah kita korbankan demi meraihnya. sebab tidak akan ada keberhasilan tanpa pengorbanan. Sejauh mana kita berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan ditentukan salah satunya oleh sberapa besar pengorbanan yang kita lakukan.
Seseorang yang bercita - cita ingin memiliki gelar akademis yang tinggi mau tidak mau akan mengorbankan banyak hal seperti tenaga, waktu dan biaya tentunya. Ia memerlukan tenaga yang besar untuk terus melanjutkan pendidikan dalam jangka waktu yang lama. Waktunya akan banyak tersita untuk studi yang dilakukannya. Dan biaya sudah tentu akan diperlukan cukup banyak. Tentunya porsi pengorbanan yang dilakukan akan berbeda - beda. Seseorang pada contoh diata (mendapatkan gelar) akan sangat mungkin melakukan pengorbanan dalam hal materi yang sedikit tetapi pengorbanan lainnya pasti akan meningkat. Tenaga dan waktu misalkan akan lebih besar dia korbankan agar medapatkan beasiswa untuk membiayai studinya.
Yang kedua adalah konsistensi. Berbicara masalah pengorbanan adalah berbicara tentang kesiapan untuk kehilangan sesuatu agar mendapatkan sesuatu. Sedangkan konsistensi adalah berbicara kesiapan untuk terus menerus kehilangan namun apa yang harusnya kita dapatkan akan ada di masa yang akan datang. Artinya konsistensi adalah energi yang kita perlukan untuk terus melakukan pengorbanan dalam variabel waktu tertentu.
Karena sejatinya cita - cita yang besar akan membuthkan rentang waktu yang panjang untuk dicapai. Tidak ada dan tidak akan pernah ada cita - cita yang besar diwujudkan dalam waktu yan singkat dan secara instan. Oleh karena itulah dalam mencapai cita - cita yang kita miliki maka kita harus konsisten dalam pengorbanan yang kita lakukan. Jangan menjadi lemah, terus berhenti dalam melangkah karena merasa lelah untuk terus berjalan meraih cita - cita. Ketika kita sudah bertekad untuk meraih gelar pendidikan yang tinggi, maka kita harus konsisten dengan aktivitas belajar yang kita lakukan. Karena untuk mendapatkannya dibutuhkan waktu yang cukup lama.
Wallahu a'lam bisshowab
Assalamu'alaikum wr wb
Tuesday, 8 December 2015
Don't Speak
Diam itu emas. Ungkapan tersebut sudah sangat jamak di
kehidupan kita sehari – hari. Sehingga sangat wajar bila timbul persepsi
didalam masyarakat bahwa mereka yang irit dalam berbicara memiliki nilai lebih.
Sementara mereka yang terlalu banyak bicara cenderung mendapatkan persepsi
negatif. Tapi benarkah demikian kenyataannya bahwa orang yang sedikit dalam
bicara akan selalu lebih baik dibandingkan dengan orang yang terlalu banyak
bicara?
Persepsi tersebut tidak muncul begitu saja, tentunya
ada hal – hal yang melandasi munculnya pandangan tersebut. Karena logikanya
tidak akan pernah ada yang namanya asap kalo tidak ada api. Terlalu banyak
bicara merupakan sifat yang tidak baik. Sebab orang yang terlalu banyak bicara
cenderung bersifat egois,kurang bijak dalam penyampaiannya serta kurang
menunjukkan rasa empati. Sehingga rasa hormat lingkungan sekitar terhadap orang
– orang yang terlalu banyak bicara cenderung berkurang.
Selain itu, keburukkan lainnya dari orang – orang yang
terlalu banyak bicara adalah sulitnya untuk mendengarkan orang lain. Bahkan
tidak jarang mereka yang memiliki sifat ini berupaya untuk menguasai sebuah
forum dengan menggunakan cara – cara yang tidak etis. Misalnya dengan cara
mencemooh penyampaian orang lain. Hal tersebut bertujuan untuk menarik
perhatian peserta forum lainnya. Sudah tentu ada hati yang tersakiti dengan
cara – cara tersebut.
Terakhir, orang – orang yang banyak bicara sering
mendapatkan persepsi negatif dari masyarakat karena pada prinsip dasarnya
semakin banyak kita berbicara maka akan semakin banyak kesalahan dari apa yang
kita bicarakan. Orang yang sudah terlanjur punya sifat banyak bicara maka
sangat sering kita temui orang – orang tersebut tidak memikirkan dengan matang
apa yang ia bicarakan. Ucapan – ucapan yang keluar dari lisannya seakan tidak
melalui proses berfikir lagi apa tujuan dari hal yang dibicarakan atau paling
tidak apakah tidak ada hati yang terluka dengan kata – kata yang keluar dari
lisan ini.
Oleh karena hal – hal diatas tersebut maka saya
merupakan satu dari sekian banyak manusia yang memandang sifat banyak bicara
merupakan sifat yang buruk dan penting untuk kita hindari. Tetapi menghindarkan
diri dari sifat terlalu banyak bicara tidak lantas menjadikan kita orang yang
pendiam apalagi cenderung tertutup. Sebab antara pendiam dan tidak banyak
bicara bagi saya adalah dua hal yang berbeda.
Bagi saya pribadi pendiam merupakan sifat orang yang
tidak mampu mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan kepada orang lain dengan
berbagai faktor. Pendiam bagi saya adalah lebih karena kondisi internal dalam
dirinya yang sulit untuk membuat dia berkata – kata didepan orang lain.
Sementara tidak banyak bicara adalah kondisi dimana seseorang mampu untuk
berbicara dan menyampaikan pandangannya tetapi ia memilih untuk diam karena
berbagai pertimbangan. Dimana timbangan utama yang digunakan adalah timbangan
maslahat dan mudharat. Bagi mereka yang tidak banyak bicara, diam ataupun
berbicara merupakan tindakan yang mana setiap tindakan akan menimbulkan akibat
– akibat tersendiri. Sehingga mereka setidaknya telah memikirkan apa akibat
dari keluarnya kata – kata yang keular dari lisan mereka. Beda halnya dengan
mereka yang pendiam. Diamnya mereka bukanlah hasil dari pilihan tetapi murni
karena ketidak mampuan diri mereka sendiri. Padahal didalam hatinya menyimpang
hasrat yang sangat besar untuk berbicara menyampaikan apa yang mereka pikirkan
akan tetapi kemampuan jiwa mereka tidak memungkinkan untuk melakukan hal
tersebut.
Secara sederhana perbedaan antara mereka yang pendiam
dengan mereka yang tidak banyak bicara adalah sikap diamnya mereka yang tidak
terlalu banyak bicara muncul dari hasil pemikiran dari akibat yang dihasilakan
dari yang di ucapkan. Sementara mereka yang pendiam itu disebabkan masalah
didalam dirinya sendiri yang memaksa dia sulit untuk menyampaikan pendapat.
Pendiam sebagai sebuah sifat tidaklah bisa kita
masukkan kedalam kategori “diam itu emas”. Karena diamnya mereka yang memiliki
sifat pendiam muncul karena ketidakmampuan untuk bicara bukan karena hasil
pemikiran baik dan buruknya. Diam karena untuk menghindari masalah dan
keributan, diam untuk menghindarkan dari keburukkan – keburukkan serta mudharat
adalah hal yang baik dan perlu di apreisasi. Tetapi sebagai seorang manusia
maka seharusnya kita tidak hanya cukup dengan diam. Yang mesti kita lakukan
adalah memperbaiki apa yang salah, melakukan sesuatu agar tidak muncul masalah.
Perbaikan dan penghindaran atas sebuah masalah adalah implikasi dari sebuah
tindakan yang sangat sederhana bahkan mungkin sangat ringan yaitu berbicara.
Maka sudah selayaknya kita memperbaharui lagi ungkapan – ungkapan yang ada
dimasyarakat.
Tidak hanya sekedar berkutat pada “Diam itu emas”
tetapi kita harus sudah mulai melangkah pada jenjang yang lebih baik yaitu
bicara yang baik itu berlian”. Sudah saatnya kita menjadi pribadi yang tidak
banyak bicara bukan pribadi yang pendiam. Pribadi yang tidak banyak bicara
adalah mereka yang mampu memikirkan sebab – akibat dari perkataannya. Mereka
yang tidak banyak bicara adalah mereka yang sudah memiliki tujuan yang jelas
dari penyampaiannya sehingga apa yang dia bicarakan mengandung kebaikan –
kebaikan. Baik kebaikan untuk dirinya sendiri aupun bagi orang – orang yang
mendengarkan.
Dan salah satu perkataan yang baik itulah perkataan –
perkataan yang mengajak kita kepada kebaikan. Perkataan – perkataan yang
mengingatkan kita kepada Sang Pencipta.
Maka “ berkatalah yang baik atau diam”
Friday, 24 April 2015
Cinta Itu Menghebatkan
Zainab
yang mendapati kenyataan bahwa ia tidak bisa bersama dengan orang yang
dicintainya mengalami tekanan yang sangat berat. Kondisi fisiknya semakin lama
semakin menurun. semangat hidupnya terasa menghilang setelah ia tidak
mengetahui dimana keberadaan hamid. Pernah semangat hidupnya muncul lagi,
wajahnya berseri – seri ketika ia mengetahui bahwa hamid sedang berada di
mekkah namun karena kondisi fisik yang memang sudah sangat lemah akhirnya tidak
tertolongkan dan akhirnya ia menghadap Yang Maha Kuasa. Kondisi Hamid tidak
jauh berbeda dengan Zainab. Hamid pergi meninggalkan kampung halamannya,
meninggalkan gadis yang dicintainya dengan perasaan dan hati yang hancur. Kondisi
kesehatannya pun semakin lama semakin memburuk hingga akhirnya ia menghembuskan
nafas terakhir tidak beberapa lama mengetahui bahwa zainab wanita yang
dicintainya telah tiada.
Begitulah
gambaran akhir cerita dari roman karya buya Hamka, dua orang manusia yang
saling mencintai terpuruk karena kisah cinta mereka tidak bersatu. Keduanya menjadi
pribadi yang lemah ketika mengetahui mereka tidak akan bisa bersatu. Kisah
kasih yang tak sampai yang ditulis puluhan tahun tersebut nampaknya masih
relevan dengan kondisi kebanyakan insan yang larut dalam perasaan cinta dan mengalami
kegagalan dalam cintanya. Bahkan ada yang mengkahiri hidupnya dengan bunuh
diri, sungguh tragis. Namun pertanyaannya adalah apakah keterpurukkan yang
mereka alami benar – benar disebabkan oleh cinta yang mereka rasakkan atau
karena hal lain?
Begitupula
dengan Abdurrahman Ibnu Muljam yang dulunya dikenal sebagai ahlusunnah, fasih
dalam membaca Al Qur’an serta ta’at dalam beragama. Namun, keta’atan berubah
seketika sejak ia bertemu dan jatuh cinta dengan seorang wanita khawarij. Sang
wanita mau menikah dengan Abdurrahman ibnu Muljam dengan syarat mahar 3000
dinar serta membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ibnu muljam yang sudah
dibutakan oleh cintanya menyetujui persyaratan tersebut sehingga sejarah
mencatat Abdurrahman Ibnu Muljam menjadi pembunuh sang khalifah.
Hari
ini kita juga banyak melihat orang – orang yang melakukan hal – hal yang
bertentangan dengan syariat agama atas nama cinta. Kita lazim melihat interaksi
yang menabrak aturan – aturan agama dan para pelakunya menganggap apa yang
dilakukan disebabkan karena mereka saling mencintai. Pertanyaannya pun muncul,
apakah cintalah yang sanggup untuk membuat seseorang menentang semua larangan
agama?
Sejatinya
merasakan cinta dan keinginan untuk dicintai adalah fitrah manusia. Sebagai
sebuah fitrah dan karunia yang diberikan oleh Tuhan, maka tidak ada satupun
makhluk yang dapat menghentikan kehadirannya. Sebab rasa cinta itu sendiri
hadir seiring dengan keberadaan manusia itu sendiri. Sebagai sebuah fitrah dan
karunia dari Tuhan, maka seharusnya cinta yang dirasakan oleh seseorang
haruslah membawa orang yang merasakannya kearah yang lebih baik. seharusnya
cinta itu menghebatkan. Bukan sebaliknya, tidak seharusnya ketika merasakan
cinta membuat seorang terpuruk apalagi membuatnya melanggar aturan agama.
Yang
sebenarnya terjadi ada beberapa penyebab mengapa seseorang yang merasakan cinta
menjadi terpuruk dan melakukan hal – hal yang bertentangan dengan agama.
Pertama, terlalu berlebihan dalam menempatkan rasa cinta. Perasaan cinta yang
berlebihan akan sangat berbahaya bagi siapa saja yang memilikinya. Terlebih
akan lebih berbahaya jika rasa itu dimiliki oleh mereka yang belum halal. Sebab
rasa cinta yang berlebihan terhadap sesuatu yang belum menjadi hak kita akan
menimbulkan perasaan memiliki yang sangat kuat. Perasaan memiliki yang sangat
kuat inilah yang akan membuat seseorang menjadi terpuruk ketika apa yang
diinginkan tidak mampu dimiliki.
Imam
Ibnul Qayyim dalam bukunya, al-jawab
al-kafi liman sa’ala ‘an ad-dawa’ asy-syafi menjelaskan, “Cinta itu
merupakan sendi kehidupan hati dan makanan pokok jiwa. Hati tidak akan dapat
merasakan kelezatan, kenikmatan, kebahagiaan, dan kehidupan tanpa cinta di
dalamnya. Apabila hati telah kehilangan cinta, maka penderitaannya serasa lebih
sakit daripada derita yang dialami oleh mata di kala ia kehilangan cahayanya,
dan hidung di kala ia kehilangan penciumannya, serta lisan di kala kehilangan
suaranya. Bahkan hati, ketika di dalamnya hampa akan cinta terhadap Sang
Penciptanya, sakitnya akan lebih dahsyat dari rusaknya tubuh karena sakit jiwa.
Perkara ini sulit dipercaya kebenarannya, kecuali bagi orang yang hidup
hatinya.”
Dari
penjelasan Imam Ibnu Qayyim diatas jelas bagaimana seseorang yang kehilangan
cintanya bisa hancur dan terpuruk. Namun, kehilangan seseorang yang dicintai
tidak akan menjeremuskan kita dalam keterpurukan serta rasa sakit yang teramat
sangat apabila rasa cinta yang kita dimiliki tidak berlebihan dan tidak lebih
besar dari cinta kita kepada Allah swt dan RasulNya. Tengoklah bagaimana respon
istri dari Syekh Abdullah Azzam Ketika kabar
syahidnya syekh Abdullah Azzam disampaikan kepada istri beliau, janda itu hanya
menjawab enteng, “Alhamdulillah, sekarang dia mungkin sudah bersenang-senang
dengan para bidadari…”
Penyebab kedua yang membuat mengapa seseorang yang
merasakan cinta menjadi terpuruk dan melakukan hal – hal yang bertentangan
dengan agama adalah ketidak mampuan dalam membedakan antara syahwat dan cinta.
Kemaksiatan yang dilakukan oleh mereka yang sedang dimabuk cinta sesungguhnya
bukanlah didasarkan atas cinta melainkan syahwat semata. Begitu halus cara
setan menjerumuskan manusia, membungkus syahwat dengan cinta sehingga dengan
mudah manusia terjerumus didalam kemaksiatan.
Syahwat
artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Sedangkan fitnah syahwat
(penyakit mengikuti syahwat) adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh
hati/nafsu yang keluar dari batasan syari’at. Fitnah syahwat merupakan satu
dari dua hal yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah saw, seperti yang
dijelaskan didalam hadist berikut :
Sesungguhnya di antara yang aku takutkan
atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu
serta fitnah-fitnah yang menyesatkan. [HR. Ahmad dari Abu Barzah
Al-Aslami. Dishahihkan oleh Syaikh Badrul Badr di dalam ta’liq Kasyful Kurbah,
hal: 21]
Syahwat
mengikuti nafsu perut dan kemaluan adalah fitnah syahwat, sedangkan
fitnah-fitnah yang menyesatkan adalah fitnah syubhat. Dan salah satu bentu dari
fitnah syahwat adalah fitnah wanita. Dan fitnah wanita merupakan fitnah yang
pertama dan terbesar serta paling berbahaya bagi laki – laki. Seperti yang
disabdakan oleh Rasulullah saw :
Tidaklah aku menginggalkan fitnah,
setelah aku (wafat), yang lebih berbahaya terhadap laki-laki daripada wanita. [HR.
Bukhari no: 5096, Muslim no: 2740, dan lainnya, dari Usamah bin Zaid]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari hadits ini dengan perkataan: “Hadits ini menunjukkan
bahwa fitnah yang disebabkan wanita merupakan fitnah terbesar daripada fitnah
lainnya. Hal itu dikuatkan firman Allah: “Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita…” (Ali-Imran:14), yang Allah menjadikan wanita termasuk
“hubbu syahawat” (kecintaan perkara-perkara yang diingini), bahkan Dia
menyebutkannya pertama sebelum jenis-jenis yang lain sebagai isyarat bahwa
wanita-wanita merupakan pokok hal itu”. [Fathul Bari]
Karena
fitnah wanita, seseorang dapat terjerumus ke dalam berbagai kemaksiatan
karenanya. Seperti: memandang wanita yang bukan mahramnya, menyentuhnya,
berpacaran, bahkan sampai berbuat zina! Termasuk fitnah ini adalah laki-laki
yang mentaati istri untuk memuaskan kesenangannya di dalam bersolek, berhias,
dan bersenang-senang, sehingga berusaha mendapatkan harta berbagai cara, baik
halal atau haram! Atau mencintai istri
secara berlebihan sehingga lebih mengutamakannya dari siapapun bahkan orang-tuanya!
Atau bahkan lebih mantaati istri daripada mentaati Allah dan Rasul-Nya!!
Sehingga suami lebih memilih menemani istrinya daripada melaksanakan ketaatan,
baik, shalat berjama’ah di masjid, berjihad fi sabililah dan lainnya.
Maka
agar cinta yang kita rasakan tidak menjadi petaka, tidak membuat kita terjebak
dalam keterpurukkan serta tidak membuat kita terjebak dalam kemaksiatan maka
sudah sewajarnya kita memastikan cinta yang kita rasakan tidak berlebihan tidak
melebihi kecintaan kita kepada Allah swt. Kedua, kita harus menjaga kemurnian
cinta yang kita rasakan jangan sampai tercemari oleh syahwat yang dapat merusak
segalanya serta membuat kita terjebak dalam kemaksiatan.
Sudah
seharusnya cinta itu menghebatkan siapa saja yang merasakannya bukan
sebaliknya. Seharusnya cinta itu seperti madu, manis rasanya dan juga
memberikan banyak manfaat bagi tubuh. Bukan seperti khamr yang pahit rasanya
serta memberikan banyak keburukkan bagi tubuh orang yang mengkonsumsinya.
Wallahu
‘alam bisshowwab
Labels:
aktivis dakwah,
dakwah kampus,
integritas,
islam,
kepemimpinan,
keteladanan,
opini,
tokoh
Wednesday, 31 December 2014
Waktu : Evaluasi Dari Perjalanannya
Waktu
adalah sesuatu yang berjalan secara relatif. Dalam sebuah kondisi kita dapat
merasakan waktu berjalan amat sangat lambat. Dan dikondisi lain kita merasakan
waktu bergerak dengan sangat cepat. Padahal, dalam setiap kondisinya kita tetap
menjalani waktu 1 hari yang sama, 1 jam yang sama, 1 menit yang sama dan 1
detik yang sama. Yang membedakan biasanya adalah kondisi serta perasaan yang
kita rasakan dalam menjalani waktu yang ada. Dua hal tersebutlah yang bisa
membuat kita merasa waktu berjalan dengan amat sangat cepat ataupun lambat. Sehingga
kita sendirilah yang bisa membuat waktu terasa lebih panjang ataupun terasa
lebih singkat.
Namun
ada satu hal yang tidak dapat kita lakukan terhadap waktu ialah, kita tidak
akan pernah bisa kembali lagi ke setiap detik yang telah kita lalui. Sekeras
apapun kita berusaha, sebanyak apapun harta yang kita keluarkan kita tidak akan
pernah mampu “membeli” lagi setiap waktu yang telah kita habiskan. Sehingga
wajar ulama mengatakan bahwa hal yang paling jauh didunia ini adalah masa lalu.
Karena kita tidak akan pernah bisa untuk kembali lagi kemasa itu.
Waktu
dalam definisi yang diberikan oleh ustadz Anis Matta dalam bukunya “Delapan
Mata Air Kecemerlangan” adalah batas
masa kerja yang membentang antara kelahiran dan kematian. Hal lain yang
menjadikan waktu adalah sesuatu yang menarik adalah Allah swt membuka salah
satu surat didalam Al Qur’an dengan sebuah sumpah tentang waktu.
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
(QS Al – Ashr : 1- 3)
Dimana
para ulama tafsir menjelaskan jika Allah swt bersumpah dengan salah satu
makhluk-Nya, maka makhluk itu pastilah makhluk itu mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia. Seperti misalnya, dalam beberapa surat
Allah swt bersumpah dengan langit dan bumi, matahari dan bulan. Dan benar saja
keempat hal tersebut merupakan hal – hal yang sangat penting bagi kehidupan
manusia. Dan Allah swt telah bersumpah dengan waktu, oleh karena itu kita mesti
sadar betapa pentingnya waktu dalam kehidupan manusia.
Akumulasi
dari keunikan dan keistimewaan dari waktu seharusnya menjadikan kita sadar betapa
penting bagi kita manusia untuk dapat memanfaatkan waktu yang telah diberikan
oleh Allah swt dengan sebaik – baiknya. Betapa penting bagi kita untuk mengisi
setiap detik yang berlalu dengan kebaikan serta hal – hal yang bermanfaat
sehingga waktu yang berjalan tidak terasa sia – sia. Betapa penting bagi kita
untuk menggunakan waktu yang ada untuk hal – hal yang berguna bagi diri kita
sendiri dan lingkungan sekitar agar tidak ada penyesalan atas waktu yang kita
lalui. Betapa penting bagi diri kita untuk memanfaatkan waktu yang sudah
diberikan oleh Allah swt untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan serta
memperbanyak amal sholeh kita agar ketika waktu kita hidup didunia telah habis
kita membawa bekal yang cukup untuk kembali menghadap-Nya.
Dalam
Al Qur’an surat Al – Ashr, dimana Allah swt membuka surat ini dengan sumpah
terhadap waktu diayat pertama dan dilanjutkan dengan informasi dari Allah swt
bahwa manusia berada dalam kondisi rugi diayat kedua. Ini menanjadi peringatan
untuk kita semua, dalam hal yang berkaitan dengan penggunaan waktu, manusia
berada dalam kondisi yang rugi. Tetapi, Allah swt menutup surat ini dengan ciri
– ciri orang yang tidak mengalami kerugian dalam menjalani waktu yang diberikan
oleh Allah swt, yaitu : beriman, beramal sholeh, menasehati dalam kebenaran dan
menasehati dalam kesabaran. Keempat hal inilah yang menjadi pembeda antara
orang – orang yang mengalami kerugian dalam menjalankan waktu yang diberikan
ataupun orang – orang yang mendapatkan keuntungan atas waktu yang diberikan.
Iman
adalah paduan antara pengetahuan dan keyakinan tentang Allah swt serta
kebenaran – kebenaran yang diturunkanNya. Pengetahuan yang kta miliki tentang
Allah swt haruslah berujung kepada keyakinan. Karena tidak akan ada artinya
jika pengetahuan yang dimiliki tidak berujung pada keyakinan. Tetapi
sebaliknya, kita tidak akan pernah bisa membangun sebuah keyakinan yang kokoh
tanpa didasara oleh pengetahuan atas apa yang ingin kita yakini. Sebab
penegtahuan berkaitan dengan dimensi akal dan keyakinan berkaitan dengan
dimensi hati. Sedangkan amal shaleh merupakan pembuktian terhadap pengetahuan
dan keyakinan yang dimiliki melalui tindakan dan prilaku keseharian.
Menasehati
dalam kebenaran adalah sebuah tindakan yang membuat seseorang berpartisipasi
aktif dalam proses perbaikan kondisi masyarakatnya. Karena didalam
kebermanfaatan seseorang terhadap orang lain adalah menjadi hal yang penting
untuk dilakukan. Dan sebagai seorang muslim kebermanfaatan itu ditunjukkan
dengan saling mengajak atau menasehati dalam hal – hal kebaikan. Sehingga
dengan kata lain, aktivitas menasehati dalam kebenaran dapat diungkapkan dengan
satu kata yaitu “dakwah”. Berperan aktif dalam aktivitas dakwah merupakan salah
satu ciri dari orang yang beruntung dalam menjalani waktunya.
Menasehati
dalam kesabaran menjadi hal penting untuk mendapatkan keuntungan dalam
menjalani waktu yang kita miliki. Karena berbicara tentang peningkatan keimanan
yang berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan, berbicara tentang peningkatan
kualitas dan kuantitas amal sholeh serta berbicara tentang aktivitas dakwah
dimasyarakat tentunya tidak akan pernah lepas dari yang namanya ujian dan
tantangan yang sewaktu – waktu dapat merusak keimanan kita serta menghentikkan
aktivitas amal sholeh serta aktivitas dakwah yang kita lakukan. Oleh karena
penilaian terhadap waktu yang kita jalani tidaklah dilakukan diawal ataupun
ditengah kehidupan kita. Tapi melainkan sampai akhir waktu kita hidup, maka
sangat penting menjaga konsistensi kita dalam keimanan, amal sholeh serta aktivitas
dakwah. Konsistensi atau juga yang sering kita sebut dengan kesitiqomahan kita
dalam melakukan hal – hal tersebut akan terwujud dengan kesabaran.
Selanjutnya,
mari kita mengevaluasi diri kita sendiri dalam rentang waktu yang telah kita
jalani, mempertanyakan kepada diri kita sendiri bagaimana kondisi keimanan
kita? mempertanyakan kepada diri kita sendiri bagaimana kualitas dan kuantitas
amal sholeh yang kita lakukan? Tanyakan kepada diri kita sendiri, sudahkah kita
berkontribusi dalam aktivitas dakwah? Tanyakan kepada diri kita sendiri, apakah
kita telah menjalankan hal – hal tersebut dengan konsisten?
Karena
kita tidak pernah tahu berapa “jatah” waktu kita hidup yang diberikan oleh
Allah swt. Karena kita tidak pernah tahu kapan ruh kita akan berpisah dengan
jasad kita. Maka marilah senantiasa kita mengisi waktu yang kita miliki untuk
meningkatkan keimanan, amal sholeh dan memberikan kontribusi terbaik kita dalam
aktivitas dakwah serta sabar dan konsisten dalam menjalankan hal – hal
tersebut. Sebagai penutup mari kita ingat dan renungkan lagi sebuah hadist dari
Rasulullah saw berikut ini :
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya beliau berkata kepada seorang
laki-laki untuk menasihatinya : ”Manfaatkanlah lima (keadaan) sebelum (datangnya) lima (keadaan
yang lain) : Hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, waktu luangmu
sebelum waktu sempitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, dan kayamu sebelum
miskinmu” [HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi].
Maraji’
Al
Qur’an terjemah Departemen Agama
Delapan
Mata Air Kecemerlangan, Anis Matta Lc
Subscribe to:
Posts (Atom)