Masakah dan problematika
bagi seorang aktivis dakwah seperti dua sisi mata uang. Seorang aktivis dakwah
tidak akan pernah bisa melepaskan di dari masalah tiap waktunya. Karena bagi
seorang aktivis dakwah hidup merupakan proses pergantian dari satu problema ke
problema yang lainnya. Setidaknya problema – problema inilah yang sangat mungkin
membuat seorang aktivis dakwah untuk keluar (insilah) dari jalan dakwah dan
jamaah. Sehingga pilihan bijak bagi seorang aktivis dakwah bukanlah lari dari
problema yang ada tapi dia harus mampu menghadapi dan menyelesaikan setiap
problem yang melanda.
Untuk dapat mengatasi
problem yang akan menghampiri kita sebagai aktivis dakwah, maka hal pertama
yang harus bisa kita lakukan adalah mengetahui problem apa saja yang bisa
menghantam seorang aktivis dakwah. Setelah itu baru kita bisa menemukan solusi
dari setiap problem tersebut. Setidaknya secara garis besar ada 2 (dua) problem
yang bisa mengganggu kinerja atau bahkan membuat seorang aktivis dakwah keluar
dari jalan dakwah. Pertama problem internal, yaitu problem yang berasal dari
dalam diri aktivis dakwah tersebut. Dan yang kedua adalah problem
eksternal,yaitu problem atau gangguan yang berasal dari luar individu aktivis
dakwah.
Dari dua problem tersebut,
problem internal lebih berat ketimbang problema eksternal. Dan penyelesaian
problema internal harus diselesaikan terlebih dahulu dibandingkan problema
eksternal. Sebab,logikanya penyelasaian problema internal meghasilkan imunitas
yang bagus bagi seorang aktivis dakwah, sehingga problema apapun yang datang
dari luar akan dapat diselesaikan seiring dengan imunitas yang kuat dari
individu aktivis dakwah tersebut. Sebaliknya ketika seorang aktivis dakwah
tidak mampu menyelesaikan problema internalnya, maka dia memiliki imunitas yang
buruk. Sehingga sedikit saja terkena masalah dari luar maka akan sangat mudah
untuk masuk dalam golongan orang yang “berguguran” dijalan dakwah.
Problematika internal yang sering dijumpai dalam jamaah
dakwah adalah 1). gejolak kejiwaan, 2). ketidakseimbangan aktifitas, 3). latar
belakang dan masa lau, 4). penyesuaian diri, dan5). friksi internal.
Gejolak kejiwaan sebenarnya merupakan persoalan yang dimiliki
oleh semua manusia biasa. Dan yang perlu disadari adalah para aktivis dakwah
juga manusia biasa. Gejolak ini tidak bisa dimatikan sama sekali, tetapi perlu
dikelola dengan baik agar tidak merugikan dakwah dan aktifis dakwah. Diantara
gejolak kejiwaan itu adalah: Pertama, gejolak syahwat. Banyak orang yang terpeleset oleh gejolak
ketertarikan pada lawan jenis ini. Bagi mereka yang belum menikah, gejolak ini
biasanya lebih besar dan lebih berpeluang “menggoda.” Kedua,
gejolak amarah. Seperti kisah Khalid saat menghadapi Jahdam dan pemuka bani Jazimah,
gejolak amarah ini bisa berakibat fatal termasuk bagi citra dakwah, hubungan
antar aktifis dakwah, dan terjadinya fitnah diantara kaum muslimin. Ketiga,
gejolak heroisme. Semangat heroisme memang bagus dan sangat perlu, tetapi
ketika sudah tidak proporsional ia akan mendatangkan sikap ekstrem yang
berbahaya bagi kemaslahatan dakwah dan umat. Kasus pembunuhan terhadap Nuhaik
yang dilakukan Usamah bin Zaid adalah contohnya. Keempat,
gejolak kecemburuan. Seperti kecemburuan Anshar pada para mualaf yang
mendapatkan hampir semua ghanimah perang Hunain, sikap ini bisa berefek pada
melemahnya soliditas internal jamaah. Meskipun yang dicemburui oleh Anshar
sebenarnya adalah perhatian Rasulullah dan bukan materi ghanimah-nya, gejolak
ini segera diselesaikan Rasulullah karena jika dibiarkan bisa berdampak
negatif.
Ketidakseimbangan aktifitas juga menimbulkan problematika tersendiri.
Ketidakseimbangan antara aktifitas ruhaniyah dengan aktifitas lapangan, ketidakseimbangan
antara dakwah di dalam dengan di luar rumah tangga, ketidakseimbangan antara
aktifitas pribadi dengan organisasi, ketidakseimbangan antara amal tarbawi
dengan amal siyasi, ketidakseimbangan antara perhatian terhadap aspek kualitas
dengan kuantitas SDM; semuanya bisa berakibat negatif. Tawazun atau kesimbangan
yang merupakan asas kehidupan, juga harus dipraktikkan dalam kehidupan berjamaah dan oleh semua aktifis
dakwah.
Latar belakang dan masa lalu aktifis yang buruk bisa pula menjadi
problematika internal dakwah jika tidak dilakukan langkah-langkah solutif.
Latar belakang keagamaan keluarga, misalnya. Ia bisa berbentuk lemahnya
tsaqafah Islam, tekanan keluarga yang menentang aktifitas dakwah, dan kerancuan
dalam orientasi kehidupan. Sedangkan masa lalu yang “jahiliyah” bisa membawa
dampak yang kurang menguntungkan bagi kredibilitas sang aktifis dakwah. Solusi atas
problem ini terangkum dalam kata “mujahadah.” Bagaimana seorang aktifis
melakukan muhasabah, menyadari kelemahannya dan melakukan perbaikan diri. Masa
lalu memang tidak bisa diubah, tetapi pengaruhnya bisa dikendalikan.
Problematika internal yang keempat adalah penyesuaian diri. Yakni
penyesuaian diri terhadap karakteristik pendekatan dan sikap dakwah yang melekat
pada masing-masing marhalah dan orbit dakwah. Sebagaimana corak dakwah yang
berbeda antara fase Makkiyah dan Madaniyah, bahkan masa sirriyah dan jahriyah
pada fase Makkah yang juga berbeda, dakwah saat ini juga mengalami hal yang
sama; ada tahap-tahapnya. Antara mihwar tanzhimi yang berkonsentrasi pada konsolidasi
internal dan mihwar muassasi yang konsen pada perjuangan politik membuat beberapa
kader dakwah tidak mampu menyesuaikan diri. Hambatannya bisa karena sifat “kelambanan”
kemanusiaan, kecenderungan jiwa, keterbatasan dan perbedaan tsaqafah, sampai
keterbatasan kapasitas. Untuk mengatasi problem ini dibutuhkan peran kelembagaan
dakwah. Jamaah dakwah perlu melakukan persiapan perubahan fase dakwah,
mensosialisasikan cara pandang yang disepakati tentang batas-batas pengembangan
dakwah sehingga jelas mana yang termasuk pengembangan (tathwir) dan mana yang termasuk
penyimpangan (inhiraf). Jamaah dakwah juga harus mendefinisikan masa yang asholah dan tsawabit,
serta mana yang mutaghayyirat.
Problem internal kelima adalah friksi internal. Friksi ini
bisa timbul dari lingkungan yang kecil seperti intern sebuah lembaga dakwah,
atau antarlembaga, atau antarpersonal pendukung dakwah. Banyak gerakan dakwah
yang harus tutup usia dan kini tinggal nama karena problematika ini. Friksi
dalam sejarah dakwah memberi beberapa pelajaran penting bagi kita: bahwa friksi
merupakan indikasi kelemahan proses tarbiyah, friksi menandakan adanya kelemahan
dalam penjagaan diri para aktifis dakwah, restrukturiasi dakwah tepat dilakukan
terhadap orang-orang
yang telah memahami karakter dakwah itu sendiri, friksi juga
bukti keberadaan ego manusia, penumbuhan al-wa’yul
islami (kesadaran berislam) dan al-wa’yu ad-da’awi (kesadaran
dakwah) lebih utama dibandingkan sekedar meletupkan hamasah (semangat)
bergerak, dan sangat mungkin friksi timbul karena hadirnya pihak ketiga yang
sengaja “memecah” jamaah.
Tulisan ini adalah hasil telaah dari buku “tegar Di jalan Dakwah” yang
ditulis oleh Ustadz Cahyadi Takariawan.
No comments:
Post a Comment