Keta’atan kepada ulil amri atau
qiyadah dalam konteks kejama’ahan menjda salah satu unsur penting dalam gerakan
jama’ah tersebut. Karena hal tersebut akan menentukkan sejauh mana para jundi
mau ikut dan mengikuti setiap keputusan yang telah dibuat dan diputuskan oleh
para pemimpin. Betapa pentingnya sebuah ketaatan sehingga ada sebuah prinsip
yang mengatakan "Tidak
ada Islam tanpa berjamaah, sementara tidak ada jamaah tanpa ada kepemimpinan,
dan tidak ada kepimpinan tanpa ketaatan." Prinsip
atau ungkapan ini menggambarkan bahwa dasar dari penggerak islam adalah
ketaatan. Sejauh mana umat islam taat terhadap syariat –syariat silam, sejauh
mana ketaatan umat islam terhadap perintah – perintah Rasul serta sejauh mana
umat islam taat kepada perintah pemimpin umat islam itu sendiri.
Jika
umat islam tidak memiliki ketaatan maka tidak akan muncul sebuah kepemimpinan, dan
tidak ada persatuan dalam barisan jamaah sehingga jika tidak adanya persatuan
dalam bentuk jamaah maka islam akan sangat mudah dihancurkan oleh musuh – musuh
islam. Oleh karena itulah saat ini musuh – mush islam tersebut tengah berusaha
bagaimana ketaatan yang dimiliki oleh umat islam ini bisa hilang sehingga
mereka dengan mudah dapat mengahancurkan islam.
Oleh
karena ketaatan ini merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki oelh
seorang muslim, maka Imam Syahid Hasan Al Banna menjadikannya salah satu dari
10 (sepuluh) rukun bai’at jama’ah ikhwanul muslimin. Karena jika seorang yang
bergabung dalam sebuah barisan jama’ah tidak memiliki ketaatan, maka hal itu
akan menyulitkan jama’ah itu untuk mencapai target – target dakwahnya
dikarenakan orang – orang yang ada didalamnya hanya mau mengerjakan hal – hal yang
mudah, atau hanya mau bekerja mengikuti perintah dikondisi – kondisi tertentu
saja.
Seperti yang telah disampaikan
oleh imam syahid Hasan Al Bana mengenai
definisi dari ta’at itu sendiri. Ketaatan
adalah melaksanakan perintah dan merealisir dengan serta merta,baik dalam
keadaan sulit maupun mudah,saat bersemangat maupun malas. Dari pebgertian
diatas dapat kita simpulkan bahwa ketaatan adalah sebuah bentuk pelaksanaan
terhadap perintah yang diberikan disegala kondisi. Ketika ada orang yang
mengerjakan perintah hanya pada keadaan yang mudah dan pada saat bersemangat
saja tetap ketika dalam keadaan sulit ia enggan melaksanakan perintah maka hal
tersebut tidak bisa dikatakan ta’at.
Keta’atan
yang disebutkan diatas ditujukkan kepada Allah swt, Rasul dan Waliyul amr,
seperti yang tertuang dalam Al-qur’an surat an nisa ayat 59:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS An nisa : 59)
Dalam ayat diatas, kita (orang – orang yang beriman)
diperintahkan oleh Allah swt untuk ta’at kepada Allah swt, ta’at kepada Rasul
dan juga ulil amri. Sehingga ayat ini menjadi landasan syar’i tentang keta’atan
seseorang kepada orang lain (ulil amri).
keta’atan kepada Allah swt dan Rasulullah saw bersifat
wajib. Tidak ada perdebatan dalam menta’ati Allah swt dan Rasul. Lantas bagaimana
dengan keta’atan terhadap makhluk (ulil amri) terlebih dalam konteks kejama’ahan?
Inilah yang menjadi pembedanya. Jika keta’atan kepada
Allah swt dan Rasul tidak ada batasan. Apa yang diperintahkan oleh Allah swt
dan yang diperintahkan oleh Rasulullah saw, sebagai orang – orang yang beriman
wajib untuk menta’atinya atau melaksanakan baik dalam keadaan mudah maupun
sulit, baik dalam kondisi semangat ataupun malas. Untuk keta’atan terhadap ulil
amri, ada batasan yang diberikan terhadahal ini, batasan tersebut ialah :
1.
Siapa yang memberi Perintah
Dalam ayat diatas (An Nisa ayat 59 ) terdapat kata “wa ulil amri minkum” atau jika diterjemahkan “...dan ulil amri diantara kamu..” dan ayat
ini dibuka dengan kalimat “hai orang –
orang yang beriman...” maka Allah
swt dalam ayat ini telah memberikan batasan siapa saja yang boleh dita’ati
selain Allah swt dan Rasul, yaitu kepada orang – orang yang beriman. kata –
kata ini menjadi penegasan selain kepada Allah swt dan Rasul, kepada siapa keta’atan
itu boleh diberikan. Sehingga jika perintah itu datang dari ulil amri yang
merupakan orang beriman maka kita harus mengikuti perintahnya tersebut. Sedangkan
jika yang menjadi ulil amri adalah orang yang tidak beriman maka kita tidak
wajib untuk mengikuti perintahnya tersebut.
Hal ini juga menjadi pedoman bagi setiap
muslim jika ingin memilih seorang yang akan dijadikan ulil amri. Kriteria keimanan
haruslah menjadi pertimbangan serius, mengingat kita hanya diperntahkan untuk
mengikuti dan ta’at kepada perintah seorang ulil amri yang beriman kepada Allah
swt.
2.
Content atau isi dari perintah
Dalam hadist
Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim :
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah,
sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari
shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Hadist diatas
memberikan garis batas yang jelas tentang sejauh mana keta’atan yang boleh kita
berikan kepada makhluk (manusia/ulil amri). Kita tidak boleh memberikan keta’atan
kita untuk hal – hal maksiat kepada Allah swt karena keta’atan itu diberikan
kepada manusia hanya untuk hal – hal kebaikan. Sehingga ketika ada ulil amri
yang memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang melanggar syariat, maka kita
wajib menolaknya dan kita juga berkewajiban untuk mengingatkan ulil amri
tersebut akan kesalahannya dalam memberikan perintah. Tetapi ketika perintah
itu tidak melanggar syariat maka kita selaku jundi wajib mengikuti perintah
tersebut dalam kondisi apapun.
Jadi dapat disimpulkan bahw:
1. Keta’atan
kepada Allah swt dan Rasulullah saw bersifat mutlak.
2. Keta’atan
terhadap makhluk (ulil amri) tidak bersifat mutlak, ada batasan – batasan yang
diberikan. Batasan – batasan tersebut ialah: yang pertama, siapa yang
memberikan perintah, kita hanya boleh memberikan keta’atan kita kepada orang –
orang yang telah terbukti keimanannya, karena itu dalam mengangkat seorang ulil
amri faktor keimanan menjadi hal yang harus diperhatikan. Kita tdak wajib dan
tidak boleh memberikan keta’atan kepada orang – orang yang tidak beriman. Yang kedua,
isi perintah yang diberikan, kita tidak boleh ta’at dan melaksanakan perintah
yang melanggar syariat.
3. jadi jika perintah itu berasal dari pemimpin atau ulil amri yang sudah terbukti keimanannya dan perintahnya tidak beretentanag dengan syariat islam maka bagi para jundi wajib untuk mengikuti dan taat terhadap perintah tersebut.
No comments:
Post a Comment