Dalam
sejarahnya dakwah islam yang dibawa oleh Rasul pernah melahirkan sebuah
generasi yang menyejarah,sebuah generasi terbaik yang pernah ada dalam sejarah
kehidupa islam. Mereka adalah generasi yang kemuncullannya tidak akan terulang
lagi untuk kedua kalinya. Walaupun terdapat beberapa tokoh atau pribadi
tertentu disepanjang masa namun kemunculannya tidak akan dalam jumlah yang
besar dan terkumpul dalam satu tempat. Mereka adalah generasi yang muncul
diawal berdirinya dakwah ini.
Mereka
adalah generasi yang memang telah teruji kualitasnya, dengan berbagai cobaan
yang dialami tetap tegar berdiri dijalan dakwah.meskipun siksaan sering
dihadapi tapi tak pernah goyah dalam memelihara keimanan didalam dada. Pun pada
saat musuh menggoda dengan kesenangan dunia, tak sedikitpun hati terlena
karenanya. Mereka adalah generasi sahabat ang telah berjuang bersama – sama
dengan Rasul dalam menghidupkan dakwah ini diawal kemunculannya. Oleh karena
keistimewaan itulah sepertinya menjadi sanga penting untuk mengkaji bagaimana
keistimewaan ini dapat mereka dapatkan. Dan kita dapat mengambil pelajaran
darinya. Pelajaran yang dapat membuat kita menjadi lebih baik lagi dijalan
dakwah ini, jalan dakwah jalan yang dipilih oleh para nabi.
Jiak
kita pikirkan lebih jauh lagi sebenarnya ada benang merah yang menghubungkan
kita dan generasi sahabat yang benar – benar istimewa tersebut. Yaitu, Al
qur’an yang menjadi sumber petujuk dari kehidupan dan juga sebagai manhaj kita
dalam berdakwah masih ada dan masih terjaga kemurniannya. Dan juga hadis
sebagai penjelasan terhadap Al qur’an serta petujuk – petunjuk dari perjalanan
serta sirah hidup baginda Rasul masih begitu terang didepan mata. Kedua hal itu
juga ada pada masa sahabat dan kedua hal itu jugalah yang menjadi pegangan oleh
mereka. Lantas apakah yang mebedakan antara Al qur’an dan hadist pada saat ini
dengan zaman para sahabat terdahulu?
Yang
berbeda bukanlah Al qur’an dan hadist, karena keduanya adalah warisan yang
ditinggalkan oleh Rasul untuk seluruh umat yang dapat digunakan sebagai
petunjuk dalam menjalani kehidupan. Tetapi perbedaannya adalah pada pribadi
kita sendiri,perbedaannya adalah cara kita dalam memperlakukan Al qur’an serta
hadist. Perbedaannya terletak pada cara kita dalam menggunakan Al qur’an dan
hadist. Perbedaannya terletak dalam hati kita,niat kita dalam mempelajari serta
mentadaburri isi dari Al qur’an. Mari kita simak perbedaannya yang dikemukkan
oleh Sayyid Qutbh dalam bukunya Ma’alim
fi atthariq.
1. Kemurnian
sumber
Para
sahabat yang hidup pada zaman Rasul hanya memiliki satu sumber petunjuk
kehidupan yaitu Al qur’an. Mereka tidak menggunakan yang lain sebagai petunjuk
hidup mereka. Mereka bersih dari pemikiran – pemikiran lain yang ada pada saat
itu, yang mengelilingi jazirah arab. Rasul benar – benar menjaga agar para
sahabat hany belajar dan mengambil pelajaran dari Al qur’an bukan dari yang
yang lain. Sedangkan hadit dijadikan sebagai penjelasan dari isi Al qur’an.
Petunujuk utama yang dipakai tetaplah Al qur’an. Pun dengan kitab – kitab yang
terdahulu tidak digunakan oleh Rasul dalam memberikan pengajaran kepada para
sahabatnya. Dalil yang terang atas keadaan ini ialah kemurkaan Rasulullah SAW
ketika beliau melihat Sayyidina Umar bin Al- Khattab R.A. ada memegang sehelai
kitab Taurat. Melihat keadaan ini beliau pun bersabda: “Demi Allah sekiranya
Nabi Musa masih hidup bersama-sama kamu sekarang pun, tidak halal baginya
melainkan mesti mengikut ajaranku.”(Hadis riwayat Al-hafidz Abu Ya'la dari
Hammad dari Asy-sya'bi dari Jabir)
Rasul
bertujuan untuk membentuk sebuah generasi yang bersih hatinya, bersih
pemikirannya dari sembarang sumber yang dapat mengotori pemikiran serta merusak
hati para sahabat sehingga akhirnya tebentuklah sebuah generasi yang gemilang
dengan berbagai prestasi yang diukir olehpara sahabat dalam dawah islam yang mereka jalani.
2. Cara
menerima Pengajran
Hal
kedua yang mungkin dapat kita pelajari dari para sahabat adalah cara penerimaan
Al qur’an yang mereka lakukan. Para sahabat ketika mendapatkan tambahan ayat
yang diberikan oleh Rasul, mereka layaknya prajurit yang mendapatkan surat
perintah, dengan serta merta mereka akan mengerjakan apa yang ada didalam surat
perintah tersebut. Begitu juga para sahabat, dada mereka bergemuruh, semangat
mereka membara ketika mendapatkan tambahan ayat yang diberikan oleh Allah
melalui Rasul tanpa membuang banyak waktu mereka akan segera berusaha
menjalankannya. Dan mereka tidak akan meminta tambahan hafalan ayat sebelum
ayat sbelumnya dapat mereka implementasikan dalam kehidupan mereka.
Menghafal
Al qur’an untuk diamalkan, mengkaji Al qur’an untuk diimplementasikan dalam
kehidupan itulah yang menjadikan generasi sahabta sebuah generasi yang
luarbiasa penuh dengan prestasi. Mereka tidak menjadikan Al qur’an sebagai obat
pelipur lara, yang dibuka dan dipelajari ketika kesedihan datang. Mereka tidak
menjadikan Al qur’an sebagai bahan bacaan yang dibaca dikala waktu senggang.
Mereka tidak membaca al qur’an karena untuk mendapatkan prestasi atau prestise
ketika bisa menghapal al qur’an.
3. Melepaskan
diri dari kejahiliyahan
Seseorang
yang telah berislam, sudah sepatutnya melepaskan dirinya dari segala aktivitas
jahiliyah dimasa lampaunya sebelum ia berislam. Seorang muslim haruslah
berislam secara kaffah, jangan setengah – setengah tetapi harus berislam secara
menyeluruh. Ketika seseorang telah berislam maka akan ada jurang pemisah antara
kehidupannya dimasa kini dengan masa lampau ketika ia belum berislam. Sebagai
seorang yang telah berislam maka ia harus mengambil islam secara menyeluruh
karena islam merupakan sebuah agama yang syamil yang mengatur setiap sendi
kehidupan manusia, maka sudah seharusnya kita mengikuti segala aturan islam
dalam segala bidang.
Pelepasan
diri dari segala bentuk kejahiliyahan dimasa lampau merupan salah satu bentuk
dari penjagaan terhadap keislamanya sendiri. Karena ketika kita masih menyimpan
“sisa – sisa” kejahiliyahan dimasa lampau maka kita akan menjadi sangat mudah
untuk terjerumus lagi kedalam kejahiliyahan. Kita dapat membandingkan kehidupan
para sahabat sebelum dan sesudah mereka berislam. Bagaimana mereka benar –
benar meninggalkan segala bentuk kehidupan mereka dimasa lalunya sebelum mereka
berislam.
Pelepasan
diri terhadap kejahiliyahan tidak hanya sebatas bagaimana mereka menjalani
kehidupan mereka. Lebih dari itu, mereka juga siap melepaskan diri dari
lingkungan dan keluarga mereka yang masih dalam kejahiliyahan jika memang
kebersamaan meraka dengan lingkungan dan keluarga yang masih jahiliyah itu mengancam
keislaman mereka. Mush’ab bin umair adalah contoh nyata dari pelesan diri dari
kejahiliyahan secara keseluruhan. Mush’ab bin umair memilih untuk meninggalkan
keluarga dan segala kehidupan mewahnya demi untuk menjaga keislamanya. Dari
seorang yang dikenal dengan parlente menjadi seorang yang ketika beliau wafat,
kain kafan yang digunakan tidak mampu untuk menutupi seluruh tubuhnya. Hal ini
mampu dilakukan oleh mush’ab karena ia menyadari bahwa Allah swt telah membeli
diri dan harta nya dengan surga dan sesisinya ketika ia masuk kedalam islam.
Hal itulah yang membuat ia mampu melepas segala kehidupannya dimasa lampau
untuk mengejar hal yang lebih indah.
No comments:
Post a Comment