Zainab
yang mendapati kenyataan bahwa ia tidak bisa bersama dengan orang yang
dicintainya mengalami tekanan yang sangat berat. Kondisi fisiknya semakin lama
semakin menurun. semangat hidupnya terasa menghilang setelah ia tidak
mengetahui dimana keberadaan hamid. Pernah semangat hidupnya muncul lagi,
wajahnya berseri – seri ketika ia mengetahui bahwa hamid sedang berada di
mekkah namun karena kondisi fisik yang memang sudah sangat lemah akhirnya tidak
tertolongkan dan akhirnya ia menghadap Yang Maha Kuasa. Kondisi Hamid tidak
jauh berbeda dengan Zainab. Hamid pergi meninggalkan kampung halamannya,
meninggalkan gadis yang dicintainya dengan perasaan dan hati yang hancur. Kondisi
kesehatannya pun semakin lama semakin memburuk hingga akhirnya ia menghembuskan
nafas terakhir tidak beberapa lama mengetahui bahwa zainab wanita yang
dicintainya telah tiada.
Begitulah
gambaran akhir cerita dari roman karya buya Hamka, dua orang manusia yang
saling mencintai terpuruk karena kisah cinta mereka tidak bersatu. Keduanya menjadi
pribadi yang lemah ketika mengetahui mereka tidak akan bisa bersatu. Kisah
kasih yang tak sampai yang ditulis puluhan tahun tersebut nampaknya masih
relevan dengan kondisi kebanyakan insan yang larut dalam perasaan cinta dan mengalami
kegagalan dalam cintanya. Bahkan ada yang mengkahiri hidupnya dengan bunuh
diri, sungguh tragis. Namun pertanyaannya adalah apakah keterpurukkan yang
mereka alami benar – benar disebabkan oleh cinta yang mereka rasakkan atau
karena hal lain?
Begitupula
dengan Abdurrahman Ibnu Muljam yang dulunya dikenal sebagai ahlusunnah, fasih
dalam membaca Al Qur’an serta ta’at dalam beragama. Namun, keta’atan berubah
seketika sejak ia bertemu dan jatuh cinta dengan seorang wanita khawarij. Sang
wanita mau menikah dengan Abdurrahman ibnu Muljam dengan syarat mahar 3000
dinar serta membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ibnu muljam yang sudah
dibutakan oleh cintanya menyetujui persyaratan tersebut sehingga sejarah
mencatat Abdurrahman Ibnu Muljam menjadi pembunuh sang khalifah.
Hari
ini kita juga banyak melihat orang – orang yang melakukan hal – hal yang
bertentangan dengan syariat agama atas nama cinta. Kita lazim melihat interaksi
yang menabrak aturan – aturan agama dan para pelakunya menganggap apa yang
dilakukan disebabkan karena mereka saling mencintai. Pertanyaannya pun muncul,
apakah cintalah yang sanggup untuk membuat seseorang menentang semua larangan
agama?
Sejatinya
merasakan cinta dan keinginan untuk dicintai adalah fitrah manusia. Sebagai
sebuah fitrah dan karunia yang diberikan oleh Tuhan, maka tidak ada satupun
makhluk yang dapat menghentikan kehadirannya. Sebab rasa cinta itu sendiri
hadir seiring dengan keberadaan manusia itu sendiri. Sebagai sebuah fitrah dan
karunia dari Tuhan, maka seharusnya cinta yang dirasakan oleh seseorang
haruslah membawa orang yang merasakannya kearah yang lebih baik. seharusnya
cinta itu menghebatkan. Bukan sebaliknya, tidak seharusnya ketika merasakan
cinta membuat seorang terpuruk apalagi membuatnya melanggar aturan agama.
Yang
sebenarnya terjadi ada beberapa penyebab mengapa seseorang yang merasakan cinta
menjadi terpuruk dan melakukan hal – hal yang bertentangan dengan agama.
Pertama, terlalu berlebihan dalam menempatkan rasa cinta. Perasaan cinta yang
berlebihan akan sangat berbahaya bagi siapa saja yang memilikinya. Terlebih
akan lebih berbahaya jika rasa itu dimiliki oleh mereka yang belum halal. Sebab
rasa cinta yang berlebihan terhadap sesuatu yang belum menjadi hak kita akan
menimbulkan perasaan memiliki yang sangat kuat. Perasaan memiliki yang sangat
kuat inilah yang akan membuat seseorang menjadi terpuruk ketika apa yang
diinginkan tidak mampu dimiliki.
Imam
Ibnul Qayyim dalam bukunya, al-jawab
al-kafi liman sa’ala ‘an ad-dawa’ asy-syafi menjelaskan, “Cinta itu
merupakan sendi kehidupan hati dan makanan pokok jiwa. Hati tidak akan dapat
merasakan kelezatan, kenikmatan, kebahagiaan, dan kehidupan tanpa cinta di
dalamnya. Apabila hati telah kehilangan cinta, maka penderitaannya serasa lebih
sakit daripada derita yang dialami oleh mata di kala ia kehilangan cahayanya,
dan hidung di kala ia kehilangan penciumannya, serta lisan di kala kehilangan
suaranya. Bahkan hati, ketika di dalamnya hampa akan cinta terhadap Sang
Penciptanya, sakitnya akan lebih dahsyat dari rusaknya tubuh karena sakit jiwa.
Perkara ini sulit dipercaya kebenarannya, kecuali bagi orang yang hidup
hatinya.”
Dari
penjelasan Imam Ibnu Qayyim diatas jelas bagaimana seseorang yang kehilangan
cintanya bisa hancur dan terpuruk. Namun, kehilangan seseorang yang dicintai
tidak akan menjeremuskan kita dalam keterpurukan serta rasa sakit yang teramat
sangat apabila rasa cinta yang kita dimiliki tidak berlebihan dan tidak lebih
besar dari cinta kita kepada Allah swt dan RasulNya. Tengoklah bagaimana respon
istri dari Syekh Abdullah Azzam Ketika kabar
syahidnya syekh Abdullah Azzam disampaikan kepada istri beliau, janda itu hanya
menjawab enteng, “Alhamdulillah, sekarang dia mungkin sudah bersenang-senang
dengan para bidadari…”
Penyebab kedua yang membuat mengapa seseorang yang
merasakan cinta menjadi terpuruk dan melakukan hal – hal yang bertentangan
dengan agama adalah ketidak mampuan dalam membedakan antara syahwat dan cinta.
Kemaksiatan yang dilakukan oleh mereka yang sedang dimabuk cinta sesungguhnya
bukanlah didasarkan atas cinta melainkan syahwat semata. Begitu halus cara
setan menjerumuskan manusia, membungkus syahwat dengan cinta sehingga dengan
mudah manusia terjerumus didalam kemaksiatan.
Syahwat
artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Sedangkan fitnah syahwat
(penyakit mengikuti syahwat) adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh
hati/nafsu yang keluar dari batasan syari’at. Fitnah syahwat merupakan satu
dari dua hal yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah saw, seperti yang
dijelaskan didalam hadist berikut :
Sesungguhnya di antara yang aku takutkan
atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu
serta fitnah-fitnah yang menyesatkan. [HR. Ahmad dari Abu Barzah
Al-Aslami. Dishahihkan oleh Syaikh Badrul Badr di dalam ta’liq Kasyful Kurbah,
hal: 21]
Syahwat
mengikuti nafsu perut dan kemaluan adalah fitnah syahwat, sedangkan
fitnah-fitnah yang menyesatkan adalah fitnah syubhat. Dan salah satu bentu dari
fitnah syahwat adalah fitnah wanita. Dan fitnah wanita merupakan fitnah yang
pertama dan terbesar serta paling berbahaya bagi laki – laki. Seperti yang
disabdakan oleh Rasulullah saw :
Tidaklah aku menginggalkan fitnah,
setelah aku (wafat), yang lebih berbahaya terhadap laki-laki daripada wanita. [HR.
Bukhari no: 5096, Muslim no: 2740, dan lainnya, dari Usamah bin Zaid]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari hadits ini dengan perkataan: “Hadits ini menunjukkan
bahwa fitnah yang disebabkan wanita merupakan fitnah terbesar daripada fitnah
lainnya. Hal itu dikuatkan firman Allah: “Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita…” (Ali-Imran:14), yang Allah menjadikan wanita termasuk
“hubbu syahawat” (kecintaan perkara-perkara yang diingini), bahkan Dia
menyebutkannya pertama sebelum jenis-jenis yang lain sebagai isyarat bahwa
wanita-wanita merupakan pokok hal itu”. [Fathul Bari]
Karena
fitnah wanita, seseorang dapat terjerumus ke dalam berbagai kemaksiatan
karenanya. Seperti: memandang wanita yang bukan mahramnya, menyentuhnya,
berpacaran, bahkan sampai berbuat zina! Termasuk fitnah ini adalah laki-laki
yang mentaati istri untuk memuaskan kesenangannya di dalam bersolek, berhias,
dan bersenang-senang, sehingga berusaha mendapatkan harta berbagai cara, baik
halal atau haram! Atau mencintai istri
secara berlebihan sehingga lebih mengutamakannya dari siapapun bahkan orang-tuanya!
Atau bahkan lebih mantaati istri daripada mentaati Allah dan Rasul-Nya!!
Sehingga suami lebih memilih menemani istrinya daripada melaksanakan ketaatan,
baik, shalat berjama’ah di masjid, berjihad fi sabililah dan lainnya.
Maka
agar cinta yang kita rasakan tidak menjadi petaka, tidak membuat kita terjebak
dalam keterpurukkan serta tidak membuat kita terjebak dalam kemaksiatan maka
sudah sewajarnya kita memastikan cinta yang kita rasakan tidak berlebihan tidak
melebihi kecintaan kita kepada Allah swt. Kedua, kita harus menjaga kemurnian
cinta yang kita rasakan jangan sampai tercemari oleh syahwat yang dapat merusak
segalanya serta membuat kita terjebak dalam kemaksiatan.
Sudah
seharusnya cinta itu menghebatkan siapa saja yang merasakannya bukan
sebaliknya. Seharusnya cinta itu seperti madu, manis rasanya dan juga
memberikan banyak manfaat bagi tubuh. Bukan seperti khamr yang pahit rasanya
serta memberikan banyak keburukkan bagi tubuh orang yang mengkonsumsinya.
Wallahu
‘alam bisshowwab