Tuesday 8 December 2015

Himah Aliyah

Semua orang memilikinya, tapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Ia adalah sesuatu yang sangat mudah untuk dikatakan dan diceritakan tapi sangat sukar untuk diraih. Semua orang memilikinya tapi yang dimiliki oleh setiap orang akan sangat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karena ia akan sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dari pribadi tersebut. Ia adalah "Himah Aliyah" atau dikenal familiar dengan nama "cita - cita yang tinggi".

Semua orang sudah barang tentu punya cita - cita akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang menjadi cita - citanya. Semua orang tentu akan sangat gampang menceritakan apa yang menjadi cita - citanya, aka tetapi dalam praktek untuk mendapatkannya akan menjadi begitu sulit karena pelbagai tantangan. Semua orang punya cita - cita dan sudah pasti setiap orang punya cita - cita  yang berbeda.

Dalam hal meraih cita - cita yang tinggi ini setidaknya dua hal yang kita perlukan. Pertama pengorbanan. Berbicara masalah cita - cita sudah tentu kita akan berbicara tentang pengorbanan. Apa yang sudah kita korbankan demi meraihnya. sebab tidak akan ada keberhasilan tanpa pengorbanan. Sejauh mana kita berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan ditentukan salah satunya oleh sberapa besar pengorbanan yang kita lakukan.

Seseorang yang bercita - cita ingin memiliki gelar akademis yang tinggi mau tidak mau akan mengorbankan banyak hal seperti tenaga, waktu dan biaya tentunya. Ia memerlukan tenaga yang besar untuk terus melanjutkan pendidikan dalam jangka waktu yang lama. Waktunya akan banyak tersita untuk studi yang dilakukannya. Dan biaya sudah tentu akan diperlukan cukup banyak. Tentunya porsi pengorbanan yang dilakukan akan berbeda - beda. Seseorang pada contoh diata (mendapatkan gelar) akan sangat mungkin melakukan pengorbanan dalam hal materi yang sedikit tetapi pengorbanan lainnya pasti akan meningkat. Tenaga dan waktu misalkan akan lebih besar dia korbankan agar medapatkan beasiswa untuk membiayai studinya.

Yang kedua adalah konsistensi. Berbicara masalah pengorbanan adalah berbicara tentang kesiapan untuk kehilangan sesuatu agar mendapatkan sesuatu. Sedangkan konsistensi adalah berbicara kesiapan untuk terus menerus kehilangan namun apa yang harusnya kita dapatkan akan ada di masa yang akan datang. Artinya konsistensi adalah energi yang kita perlukan untuk terus melakukan pengorbanan dalam variabel waktu tertentu.

Karena sejatinya cita - cita yang besar akan membuthkan rentang waktu yang panjang untuk dicapai. Tidak ada dan tidak akan pernah ada cita - cita yang besar diwujudkan dalam waktu yan singkat dan secara instan. Oleh karena itulah dalam mencapai cita - cita yang kita miliki maka kita harus konsisten dalam pengorbanan yang kita lakukan. Jangan menjadi lemah, terus berhenti dalam melangkah karena merasa lelah untuk terus berjalan meraih cita - cita. Ketika kita sudah bertekad untuk meraih gelar pendidikan yang tinggi, maka kita harus konsisten dengan aktivitas belajar yang kita lakukan. Karena untuk mendapatkannya dibutuhkan waktu yang cukup lama.

Wallahu a'lam bisshowab

Don't Speak


Diam itu emas. Ungkapan tersebut sudah sangat jamak di kehidupan kita sehari – hari. Sehingga sangat wajar bila timbul persepsi didalam masyarakat bahwa mereka yang irit dalam berbicara memiliki nilai lebih. Sementara mereka yang terlalu banyak bicara cenderung mendapatkan persepsi negatif. Tapi benarkah demikian kenyataannya bahwa orang yang sedikit dalam bicara akan selalu lebih baik dibandingkan dengan orang yang terlalu banyak bicara?

Persepsi tersebut tidak muncul begitu saja, tentunya ada hal – hal yang melandasi munculnya pandangan tersebut. Karena logikanya tidak akan pernah ada yang namanya asap kalo tidak ada api. Terlalu banyak bicara merupakan sifat yang tidak baik. Sebab orang yang terlalu banyak bicara cenderung bersifat egois,kurang bijak dalam penyampaiannya serta kurang menunjukkan rasa empati. Sehingga rasa hormat lingkungan sekitar terhadap orang – orang yang terlalu banyak bicara cenderung berkurang.
Selain itu, keburukkan lainnya dari orang – orang yang terlalu banyak bicara adalah sulitnya untuk mendengarkan orang lain. Bahkan tidak jarang mereka yang memiliki sifat ini berupaya untuk menguasai sebuah forum dengan menggunakan cara – cara yang tidak etis. Misalnya dengan cara mencemooh penyampaian orang lain. Hal tersebut bertujuan untuk menarik perhatian peserta forum lainnya. Sudah tentu ada hati yang tersakiti dengan cara – cara tersebut.

Terakhir, orang – orang yang banyak bicara sering mendapatkan persepsi negatif dari masyarakat karena pada prinsip dasarnya semakin banyak kita berbicara maka akan semakin banyak kesalahan dari apa yang kita bicarakan. Orang yang sudah terlanjur punya sifat banyak bicara maka sangat sering kita temui orang – orang tersebut tidak memikirkan dengan matang apa yang ia bicarakan. Ucapan – ucapan yang keluar dari lisannya seakan tidak melalui proses berfikir lagi apa tujuan dari hal yang dibicarakan atau paling tidak apakah tidak ada hati yang terluka dengan kata – kata yang keluar dari lisan ini. 

Oleh karena hal – hal diatas tersebut maka saya merupakan satu dari sekian banyak manusia yang memandang sifat banyak bicara merupakan sifat yang buruk dan penting untuk kita hindari. Tetapi menghindarkan diri dari sifat terlalu banyak bicara tidak lantas menjadikan kita orang yang pendiam apalagi cenderung tertutup. Sebab antara pendiam dan tidak banyak bicara bagi saya adalah dua hal yang berbeda.
Bagi saya pribadi pendiam merupakan sifat orang yang tidak mampu mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan kepada orang lain dengan berbagai faktor. Pendiam bagi saya adalah lebih karena kondisi internal dalam dirinya yang sulit untuk membuat dia berkata – kata didepan orang lain. Sementara tidak banyak bicara adalah kondisi dimana seseorang mampu untuk berbicara dan menyampaikan pandangannya tetapi ia memilih untuk diam karena berbagai pertimbangan. Dimana timbangan utama yang digunakan adalah timbangan maslahat dan mudharat. Bagi mereka yang tidak banyak bicara, diam ataupun berbicara merupakan tindakan yang mana setiap tindakan akan menimbulkan akibat – akibat tersendiri. Sehingga mereka setidaknya telah memikirkan apa akibat dari keluarnya kata – kata yang keular dari lisan mereka. Beda halnya dengan mereka yang pendiam. Diamnya mereka bukanlah hasil dari pilihan tetapi murni karena ketidak mampuan diri mereka sendiri. Padahal didalam hatinya menyimpang hasrat yang sangat besar untuk berbicara menyampaikan apa yang mereka pikirkan akan tetapi kemampuan jiwa mereka tidak memungkinkan untuk melakukan hal tersebut.

Secara sederhana perbedaan antara mereka yang pendiam dengan mereka yang tidak banyak bicara adalah sikap diamnya mereka yang tidak terlalu banyak bicara muncul dari hasil pemikiran dari akibat yang dihasilakan dari yang di ucapkan. Sementara mereka yang pendiam itu disebabkan masalah didalam dirinya sendiri yang memaksa dia sulit untuk menyampaikan pendapat.

Pendiam sebagai sebuah sifat tidaklah bisa kita masukkan kedalam kategori “diam itu emas”. Karena diamnya mereka yang memiliki sifat pendiam muncul karena ketidakmampuan untuk bicara bukan karena hasil pemikiran baik dan buruknya. Diam karena untuk menghindari masalah dan keributan, diam untuk menghindarkan dari keburukkan – keburukkan serta mudharat adalah hal yang baik dan perlu di apreisasi. Tetapi sebagai seorang manusia maka seharusnya kita tidak hanya cukup dengan diam. Yang mesti kita lakukan adalah memperbaiki apa yang salah, melakukan sesuatu agar tidak muncul masalah. Perbaikan dan penghindaran atas sebuah masalah adalah implikasi dari sebuah tindakan yang sangat sederhana bahkan mungkin sangat ringan yaitu berbicara. Maka sudah selayaknya kita memperbaharui lagi ungkapan – ungkapan yang ada dimasyarakat. 

Tidak hanya sekedar berkutat pada “Diam itu emas” tetapi kita harus sudah mulai melangkah pada jenjang yang lebih baik yaitu bicara yang baik itu berlian”. Sudah saatnya kita menjadi pribadi yang tidak banyak bicara bukan pribadi yang pendiam. Pribadi yang tidak banyak bicara adalah mereka yang mampu memikirkan sebab – akibat dari perkataannya. Mereka yang tidak banyak bicara adalah mereka yang sudah memiliki tujuan yang jelas dari penyampaiannya sehingga apa yang dia bicarakan mengandung kebaikan – kebaikan. Baik kebaikan untuk dirinya sendiri aupun bagi orang – orang yang mendengarkan.
Dan salah satu perkataan yang baik itulah perkataan – perkataan yang mengajak kita kepada kebaikan. Perkataan – perkataan yang mengingatkan kita kepada Sang Pencipta.
Maka “ berkatalah yang baik atau diam”

Friday 24 April 2015

Cinta Itu Menghebatkan



Zainab yang mendapati kenyataan bahwa ia tidak bisa bersama dengan orang yang dicintainya mengalami tekanan yang sangat berat. Kondisi fisiknya semakin lama semakin menurun. semangat hidupnya terasa menghilang setelah ia tidak mengetahui dimana keberadaan hamid. Pernah semangat hidupnya muncul lagi, wajahnya berseri – seri ketika ia mengetahui bahwa hamid sedang berada di mekkah namun karena kondisi fisik yang memang sudah sangat lemah akhirnya tidak tertolongkan dan akhirnya ia menghadap Yang Maha Kuasa. Kondisi Hamid tidak jauh berbeda dengan Zainab. Hamid pergi meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan gadis yang dicintainya dengan perasaan dan hati yang hancur. Kondisi kesehatannya pun semakin lama semakin memburuk hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir tidak beberapa lama mengetahui bahwa zainab wanita yang dicintainya telah tiada.

Begitulah gambaran akhir cerita dari roman karya buya Hamka, dua orang manusia yang saling mencintai terpuruk karena kisah cinta mereka tidak bersatu. Keduanya menjadi pribadi yang lemah ketika mengetahui mereka tidak akan bisa bersatu. Kisah kasih yang tak sampai yang ditulis puluhan tahun tersebut nampaknya masih relevan dengan kondisi kebanyakan insan yang larut dalam perasaan cinta dan mengalami kegagalan dalam cintanya. Bahkan ada yang mengkahiri hidupnya dengan bunuh diri, sungguh tragis. Namun pertanyaannya adalah apakah keterpurukkan yang mereka alami benar – benar disebabkan oleh cinta yang mereka rasakkan atau karena hal lain?

Begitupula dengan Abdurrahman Ibnu Muljam yang dulunya dikenal sebagai ahlusunnah, fasih dalam membaca Al Qur’an serta ta’at dalam beragama. Namun, keta’atan berubah seketika sejak ia bertemu dan jatuh cinta dengan seorang wanita khawarij. Sang wanita mau menikah dengan Abdurrahman ibnu Muljam dengan syarat mahar 3000 dinar serta membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ibnu muljam yang sudah dibutakan oleh cintanya menyetujui persyaratan tersebut sehingga sejarah mencatat Abdurrahman Ibnu Muljam menjadi pembunuh sang khalifah. 

Hari ini kita juga banyak melihat orang – orang yang melakukan hal – hal yang bertentangan dengan syariat agama atas nama cinta. Kita lazim melihat interaksi yang menabrak aturan – aturan agama dan para pelakunya menganggap apa yang dilakukan disebabkan karena mereka saling mencintai. Pertanyaannya pun muncul, apakah cintalah yang sanggup untuk membuat seseorang menentang semua larangan agama?

Sejatinya merasakan cinta dan keinginan untuk dicintai adalah fitrah manusia. Sebagai sebuah fitrah dan karunia yang diberikan oleh Tuhan, maka tidak ada satupun makhluk yang dapat menghentikan kehadirannya. Sebab rasa cinta itu sendiri hadir seiring dengan keberadaan manusia itu sendiri. Sebagai sebuah fitrah dan karunia dari Tuhan, maka seharusnya cinta yang dirasakan oleh seseorang haruslah membawa orang yang merasakannya kearah yang lebih baik. seharusnya cinta itu menghebatkan. Bukan sebaliknya, tidak seharusnya ketika merasakan cinta membuat seorang terpuruk apalagi membuatnya melanggar aturan agama. 

Yang sebenarnya terjadi ada beberapa penyebab mengapa seseorang yang merasakan cinta menjadi terpuruk dan melakukan hal – hal yang bertentangan dengan agama. Pertama, terlalu berlebihan dalam menempatkan rasa cinta. Perasaan cinta yang berlebihan akan sangat berbahaya bagi siapa saja yang memilikinya. Terlebih akan lebih berbahaya jika rasa itu dimiliki oleh mereka yang belum halal. Sebab rasa cinta yang berlebihan terhadap sesuatu yang belum menjadi hak kita akan menimbulkan perasaan memiliki yang sangat kuat. Perasaan memiliki yang sangat kuat inilah yang akan membuat seseorang menjadi terpuruk ketika apa yang diinginkan tidak mampu dimiliki. 

Imam Ibnul Qayyim dalam bukunya, al-jawab al-kafi liman sa’ala ‘an ad-dawa’ asy-syafi menjelaskan, “Cinta itu merupakan sendi kehidupan hati dan makanan pokok jiwa. Hati tidak akan dapat merasakan kelezatan, kenikmatan, kebahagiaan, dan kehidupan tanpa cinta di dalamnya. Apabila hati telah kehilangan cinta, maka penderitaannya serasa lebih sakit daripada derita yang dialami oleh mata di kala ia kehilangan cahayanya, dan hidung di kala ia kehilangan penciumannya, serta lisan di kala kehilangan suaranya. Bahkan hati, ketika di dalamnya hampa akan cinta terhadap Sang Penciptanya, sakitnya akan lebih dahsyat dari rusaknya tubuh karena sakit jiwa. Perkara ini sulit dipercaya kebenarannya, kecuali bagi orang yang hidup hatinya.”

Dari penjelasan Imam Ibnu Qayyim diatas jelas bagaimana seseorang yang kehilangan cintanya bisa hancur dan terpuruk. Namun, kehilangan seseorang yang dicintai tidak akan menjeremuskan kita dalam keterpurukan serta rasa sakit yang teramat sangat apabila rasa cinta yang kita dimiliki tidak berlebihan dan tidak lebih besar dari cinta kita kepada Allah swt dan RasulNya. Tengoklah bagaimana respon istri dari Syekh Abdullah Azzam Ketika kabar syahidnya syekh Abdullah Azzam disampaikan kepada istri beliau, janda itu hanya menjawab enteng, “Alhamdulillah, sekarang dia mungkin sudah bersenang-senang dengan para bidadari…”

Penyebab kedua yang membuat mengapa seseorang yang merasakan cinta menjadi terpuruk dan melakukan hal – hal yang bertentangan dengan agama adalah ketidak mampuan dalam membedakan antara syahwat dan cinta. Kemaksiatan yang dilakukan oleh mereka yang sedang dimabuk cinta sesungguhnya bukanlah didasarkan atas cinta melainkan syahwat semata. Begitu halus cara setan menjerumuskan manusia, membungkus syahwat dengan cinta sehingga dengan mudah manusia terjerumus didalam kemaksiatan. 

Syahwat artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Sedangkan fitnah syahwat (penyakit mengikuti syahwat) adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh hati/nafsu yang keluar dari batasan syari’at. Fitnah syahwat merupakan satu dari dua hal yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah saw, seperti yang dijelaskan didalam hadist berikut :

Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan. [HR. Ahmad dari Abu Barzah Al-Aslami. Dishahihkan oleh Syaikh Badrul Badr di dalam ta’liq Kasyful Kurbah, hal: 21]

Syahwat mengikuti nafsu perut dan kemaluan adalah fitnah syahwat, sedangkan fitnah-fitnah yang menyesatkan adalah fitnah syubhat. Dan salah satu bentu dari fitnah syahwat adalah fitnah wanita. Dan fitnah wanita merupakan fitnah yang pertama dan terbesar serta paling berbahaya bagi laki – laki. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw : 

Tidaklah aku menginggalkan fitnah, setelah aku (wafat), yang lebih berbahaya terhadap laki-laki daripada wanita. [HR. Bukhari no: 5096, Muslim no: 2740, dan lainnya, dari Usamah bin Zaid]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari hadits ini dengan perkataan: “Hadits ini menunjukkan bahwa fitnah yang disebabkan wanita merupakan fitnah terbesar daripada fitnah lainnya. Hal itu dikuatkan firman Allah: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita…” (Ali-Imran:14), yang Allah menjadikan wanita termasuk “hubbu syahawat” (kecintaan perkara-perkara yang diingini), bahkan Dia menyebutkannya pertama sebelum jenis-jenis yang lain sebagai isyarat bahwa wanita-wanita merupakan pokok hal itu”. [Fathul Bari]

Karena fitnah wanita, seseorang dapat terjerumus ke dalam berbagai kemaksiatan karenanya. Seperti: memandang wanita yang bukan mahramnya, menyentuhnya, berpacaran, bahkan sampai berbuat zina! Termasuk fitnah ini adalah laki-laki yang mentaati istri untuk memuaskan kesenangannya di dalam bersolek, berhias, dan bersenang-senang, sehingga berusaha mendapatkan harta berbagai cara, baik halal atau haram!  Atau mencintai istri secara berlebihan sehingga lebih mengutamakannya dari siapapun bahkan orang-tuanya! Atau bahkan lebih mantaati istri daripada mentaati Allah dan Rasul-Nya!! Sehingga suami lebih memilih menemani istrinya daripada melaksanakan ketaatan, baik, shalat berjama’ah di masjid, berjihad fi sabililah dan lainnya.

Maka agar cinta yang kita rasakan tidak menjadi petaka, tidak membuat kita terjebak dalam keterpurukkan serta tidak membuat kita terjebak dalam kemaksiatan maka sudah sewajarnya kita memastikan cinta yang kita rasakan tidak berlebihan tidak melebihi kecintaan kita kepada Allah swt. Kedua, kita harus menjaga kemurnian cinta yang kita rasakan jangan sampai tercemari oleh syahwat yang dapat merusak segalanya serta membuat kita terjebak dalam kemaksiatan.

Sudah seharusnya cinta itu menghebatkan siapa saja yang merasakannya bukan sebaliknya. Seharusnya cinta itu seperti madu, manis rasanya dan juga memberikan banyak manfaat bagi tubuh. Bukan seperti khamr yang pahit rasanya serta memberikan banyak keburukkan bagi tubuh orang yang mengkonsumsinya.

Wallahu ‘alam bisshowwab