Friday 24 April 2015

Cinta Itu Menghebatkan



Zainab yang mendapati kenyataan bahwa ia tidak bisa bersama dengan orang yang dicintainya mengalami tekanan yang sangat berat. Kondisi fisiknya semakin lama semakin menurun. semangat hidupnya terasa menghilang setelah ia tidak mengetahui dimana keberadaan hamid. Pernah semangat hidupnya muncul lagi, wajahnya berseri – seri ketika ia mengetahui bahwa hamid sedang berada di mekkah namun karena kondisi fisik yang memang sudah sangat lemah akhirnya tidak tertolongkan dan akhirnya ia menghadap Yang Maha Kuasa. Kondisi Hamid tidak jauh berbeda dengan Zainab. Hamid pergi meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan gadis yang dicintainya dengan perasaan dan hati yang hancur. Kondisi kesehatannya pun semakin lama semakin memburuk hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir tidak beberapa lama mengetahui bahwa zainab wanita yang dicintainya telah tiada.

Begitulah gambaran akhir cerita dari roman karya buya Hamka, dua orang manusia yang saling mencintai terpuruk karena kisah cinta mereka tidak bersatu. Keduanya menjadi pribadi yang lemah ketika mengetahui mereka tidak akan bisa bersatu. Kisah kasih yang tak sampai yang ditulis puluhan tahun tersebut nampaknya masih relevan dengan kondisi kebanyakan insan yang larut dalam perasaan cinta dan mengalami kegagalan dalam cintanya. Bahkan ada yang mengkahiri hidupnya dengan bunuh diri, sungguh tragis. Namun pertanyaannya adalah apakah keterpurukkan yang mereka alami benar – benar disebabkan oleh cinta yang mereka rasakkan atau karena hal lain?

Begitupula dengan Abdurrahman Ibnu Muljam yang dulunya dikenal sebagai ahlusunnah, fasih dalam membaca Al Qur’an serta ta’at dalam beragama. Namun, keta’atan berubah seketika sejak ia bertemu dan jatuh cinta dengan seorang wanita khawarij. Sang wanita mau menikah dengan Abdurrahman ibnu Muljam dengan syarat mahar 3000 dinar serta membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ibnu muljam yang sudah dibutakan oleh cintanya menyetujui persyaratan tersebut sehingga sejarah mencatat Abdurrahman Ibnu Muljam menjadi pembunuh sang khalifah. 

Hari ini kita juga banyak melihat orang – orang yang melakukan hal – hal yang bertentangan dengan syariat agama atas nama cinta. Kita lazim melihat interaksi yang menabrak aturan – aturan agama dan para pelakunya menganggap apa yang dilakukan disebabkan karena mereka saling mencintai. Pertanyaannya pun muncul, apakah cintalah yang sanggup untuk membuat seseorang menentang semua larangan agama?

Sejatinya merasakan cinta dan keinginan untuk dicintai adalah fitrah manusia. Sebagai sebuah fitrah dan karunia yang diberikan oleh Tuhan, maka tidak ada satupun makhluk yang dapat menghentikan kehadirannya. Sebab rasa cinta itu sendiri hadir seiring dengan keberadaan manusia itu sendiri. Sebagai sebuah fitrah dan karunia dari Tuhan, maka seharusnya cinta yang dirasakan oleh seseorang haruslah membawa orang yang merasakannya kearah yang lebih baik. seharusnya cinta itu menghebatkan. Bukan sebaliknya, tidak seharusnya ketika merasakan cinta membuat seorang terpuruk apalagi membuatnya melanggar aturan agama. 

Yang sebenarnya terjadi ada beberapa penyebab mengapa seseorang yang merasakan cinta menjadi terpuruk dan melakukan hal – hal yang bertentangan dengan agama. Pertama, terlalu berlebihan dalam menempatkan rasa cinta. Perasaan cinta yang berlebihan akan sangat berbahaya bagi siapa saja yang memilikinya. Terlebih akan lebih berbahaya jika rasa itu dimiliki oleh mereka yang belum halal. Sebab rasa cinta yang berlebihan terhadap sesuatu yang belum menjadi hak kita akan menimbulkan perasaan memiliki yang sangat kuat. Perasaan memiliki yang sangat kuat inilah yang akan membuat seseorang menjadi terpuruk ketika apa yang diinginkan tidak mampu dimiliki. 

Imam Ibnul Qayyim dalam bukunya, al-jawab al-kafi liman sa’ala ‘an ad-dawa’ asy-syafi menjelaskan, “Cinta itu merupakan sendi kehidupan hati dan makanan pokok jiwa. Hati tidak akan dapat merasakan kelezatan, kenikmatan, kebahagiaan, dan kehidupan tanpa cinta di dalamnya. Apabila hati telah kehilangan cinta, maka penderitaannya serasa lebih sakit daripada derita yang dialami oleh mata di kala ia kehilangan cahayanya, dan hidung di kala ia kehilangan penciumannya, serta lisan di kala kehilangan suaranya. Bahkan hati, ketika di dalamnya hampa akan cinta terhadap Sang Penciptanya, sakitnya akan lebih dahsyat dari rusaknya tubuh karena sakit jiwa. Perkara ini sulit dipercaya kebenarannya, kecuali bagi orang yang hidup hatinya.”

Dari penjelasan Imam Ibnu Qayyim diatas jelas bagaimana seseorang yang kehilangan cintanya bisa hancur dan terpuruk. Namun, kehilangan seseorang yang dicintai tidak akan menjeremuskan kita dalam keterpurukan serta rasa sakit yang teramat sangat apabila rasa cinta yang kita dimiliki tidak berlebihan dan tidak lebih besar dari cinta kita kepada Allah swt dan RasulNya. Tengoklah bagaimana respon istri dari Syekh Abdullah Azzam Ketika kabar syahidnya syekh Abdullah Azzam disampaikan kepada istri beliau, janda itu hanya menjawab enteng, “Alhamdulillah, sekarang dia mungkin sudah bersenang-senang dengan para bidadari…”

Penyebab kedua yang membuat mengapa seseorang yang merasakan cinta menjadi terpuruk dan melakukan hal – hal yang bertentangan dengan agama adalah ketidak mampuan dalam membedakan antara syahwat dan cinta. Kemaksiatan yang dilakukan oleh mereka yang sedang dimabuk cinta sesungguhnya bukanlah didasarkan atas cinta melainkan syahwat semata. Begitu halus cara setan menjerumuskan manusia, membungkus syahwat dengan cinta sehingga dengan mudah manusia terjerumus didalam kemaksiatan. 

Syahwat artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Sedangkan fitnah syahwat (penyakit mengikuti syahwat) adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh hati/nafsu yang keluar dari batasan syari’at. Fitnah syahwat merupakan satu dari dua hal yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah saw, seperti yang dijelaskan didalam hadist berikut :

Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan. [HR. Ahmad dari Abu Barzah Al-Aslami. Dishahihkan oleh Syaikh Badrul Badr di dalam ta’liq Kasyful Kurbah, hal: 21]

Syahwat mengikuti nafsu perut dan kemaluan adalah fitnah syahwat, sedangkan fitnah-fitnah yang menyesatkan adalah fitnah syubhat. Dan salah satu bentu dari fitnah syahwat adalah fitnah wanita. Dan fitnah wanita merupakan fitnah yang pertama dan terbesar serta paling berbahaya bagi laki – laki. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw : 

Tidaklah aku menginggalkan fitnah, setelah aku (wafat), yang lebih berbahaya terhadap laki-laki daripada wanita. [HR. Bukhari no: 5096, Muslim no: 2740, dan lainnya, dari Usamah bin Zaid]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari hadits ini dengan perkataan: “Hadits ini menunjukkan bahwa fitnah yang disebabkan wanita merupakan fitnah terbesar daripada fitnah lainnya. Hal itu dikuatkan firman Allah: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita…” (Ali-Imran:14), yang Allah menjadikan wanita termasuk “hubbu syahawat” (kecintaan perkara-perkara yang diingini), bahkan Dia menyebutkannya pertama sebelum jenis-jenis yang lain sebagai isyarat bahwa wanita-wanita merupakan pokok hal itu”. [Fathul Bari]

Karena fitnah wanita, seseorang dapat terjerumus ke dalam berbagai kemaksiatan karenanya. Seperti: memandang wanita yang bukan mahramnya, menyentuhnya, berpacaran, bahkan sampai berbuat zina! Termasuk fitnah ini adalah laki-laki yang mentaati istri untuk memuaskan kesenangannya di dalam bersolek, berhias, dan bersenang-senang, sehingga berusaha mendapatkan harta berbagai cara, baik halal atau haram!  Atau mencintai istri secara berlebihan sehingga lebih mengutamakannya dari siapapun bahkan orang-tuanya! Atau bahkan lebih mantaati istri daripada mentaati Allah dan Rasul-Nya!! Sehingga suami lebih memilih menemani istrinya daripada melaksanakan ketaatan, baik, shalat berjama’ah di masjid, berjihad fi sabililah dan lainnya.

Maka agar cinta yang kita rasakan tidak menjadi petaka, tidak membuat kita terjebak dalam keterpurukkan serta tidak membuat kita terjebak dalam kemaksiatan maka sudah sewajarnya kita memastikan cinta yang kita rasakan tidak berlebihan tidak melebihi kecintaan kita kepada Allah swt. Kedua, kita harus menjaga kemurnian cinta yang kita rasakan jangan sampai tercemari oleh syahwat yang dapat merusak segalanya serta membuat kita terjebak dalam kemaksiatan.

Sudah seharusnya cinta itu menghebatkan siapa saja yang merasakannya bukan sebaliknya. Seharusnya cinta itu seperti madu, manis rasanya dan juga memberikan banyak manfaat bagi tubuh. Bukan seperti khamr yang pahit rasanya serta memberikan banyak keburukkan bagi tubuh orang yang mengkonsumsinya.

Wallahu ‘alam bisshowwab

No comments:

Post a Comment