Friday 25 January 2013

Problema Internal Aktivis Dakwah



Masakah dan problematika bagi seorang aktivis dakwah seperti dua sisi mata uang. Seorang aktivis dakwah tidak akan pernah bisa melepaskan di dari masalah tiap waktunya. Karena bagi seorang aktivis dakwah hidup merupakan proses pergantian dari satu problema ke problema yang lainnya. Setidaknya problema – problema inilah yang sangat mungkin membuat seorang aktivis dakwah untuk keluar (insilah) dari jalan dakwah dan jamaah. Sehingga pilihan bijak bagi seorang aktivis dakwah bukanlah lari dari problema yang ada tapi dia harus mampu menghadapi dan menyelesaikan setiap problem yang melanda. 

Untuk dapat mengatasi problem yang akan menghampiri kita sebagai aktivis dakwah, maka hal pertama yang harus bisa kita lakukan adalah mengetahui problem apa saja yang bisa menghantam seorang aktivis dakwah. Setelah itu baru kita bisa menemukan solusi dari setiap problem tersebut. Setidaknya secara garis besar ada 2 (dua) problem yang bisa mengganggu kinerja atau bahkan membuat seorang aktivis dakwah keluar dari jalan dakwah. Pertama problem internal, yaitu problem yang berasal dari dalam diri aktivis dakwah tersebut. Dan yang kedua adalah problem eksternal,yaitu problem atau gangguan yang berasal dari luar individu aktivis dakwah. 

Dari dua problem tersebut, problem internal lebih berat ketimbang problema eksternal. Dan penyelesaian problema internal harus diselesaikan terlebih dahulu dibandingkan problema eksternal. Sebab,logikanya penyelasaian problema internal meghasilkan imunitas yang bagus bagi seorang aktivis dakwah, sehingga problema apapun yang datang dari luar akan dapat diselesaikan seiring dengan imunitas yang kuat dari individu aktivis dakwah tersebut. Sebaliknya ketika seorang aktivis dakwah tidak mampu menyelesaikan problema internalnya, maka dia memiliki imunitas yang buruk. Sehingga sedikit saja terkena masalah dari luar maka akan sangat mudah untuk masuk dalam golongan orang yang “berguguran” dijalan dakwah. 

Problematika internal yang sering dijumpai dalam jamaah dakwah adalah 1). gejolak kejiwaan, 2). ketidakseimbangan aktifitas, 3). latar belakang dan masa lau, 4). penyesuaian diri, dan5).  friksi internal.

Gejolak kejiwaan sebenarnya merupakan persoalan yang dimiliki oleh semua manusia biasa. Dan yang perlu disadari adalah para aktivis dakwah juga manusia biasa. Gejolak ini tidak bisa dimatikan sama sekali, tetapi perlu dikelola dengan baik agar tidak merugikan dakwah dan aktifis dakwah. Diantara gejolak kejiwaan itu adalah: Pertama, gejolak syahwat. Banyak orang yang terpeleset oleh gejolak ketertarikan pada lawan jenis ini. Bagi mereka yang belum menikah, gejolak ini biasanya lebih besar dan lebih berpeluang “menggoda.” Kedua, gejolak amarah. Seperti kisah Khalid saat menghadapi Jahdam dan pemuka bani Jazimah, gejolak amarah ini bisa berakibat fatal termasuk bagi citra dakwah, hubungan antar aktifis dakwah, dan terjadinya fitnah diantara kaum muslimin. Ketiga, gejolak heroisme. Semangat heroisme memang bagus dan sangat perlu, tetapi ketika sudah tidak proporsional ia akan mendatangkan sikap ekstrem yang berbahaya bagi kemaslahatan dakwah dan umat. Kasus pembunuhan terhadap Nuhaik yang dilakukan Usamah bin Zaid adalah contohnya. Keempat, gejolak kecemburuan. Seperti kecemburuan Anshar pada para mualaf yang mendapatkan hampir semua ghanimah perang Hunain, sikap ini bisa berefek pada melemahnya soliditas internal jamaah. Meskipun yang dicemburui oleh Anshar sebenarnya adalah perhatian Rasulullah dan bukan materi ghanimah-nya, gejolak ini segera diselesaikan Rasulullah karena jika dibiarkan bisa berdampak negatif.

Ketidakseimbangan aktifitas juga menimbulkan problematika tersendiri. Ketidakseimbangan antara aktifitas ruhaniyah dengan aktifitas lapangan, ketidakseimbangan antara dakwah di dalam dengan di luar rumah tangga, ketidakseimbangan antara aktifitas pribadi dengan organisasi, ketidakseimbangan antara amal tarbawi dengan amal siyasi, ketidakseimbangan antara perhatian terhadap aspek kualitas dengan kuantitas SDM; semuanya bisa berakibat negatif. Tawazun atau kesimbangan yang merupakan asas kehidupan, juga harus dipraktikkan dalam kehidupan berjamaah dan oleh semua aktifis dakwah.

Latar belakang dan masa lalu aktifis yang buruk bisa pula menjadi problematika internal dakwah jika tidak dilakukan langkah-langkah solutif. Latar belakang keagamaan keluarga, misalnya. Ia bisa berbentuk lemahnya tsaqafah Islam, tekanan keluarga yang menentang aktifitas dakwah, dan kerancuan dalam orientasi kehidupan. Sedangkan masa lalu yang “jahiliyah” bisa membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi kredibilitas sang aktifis dakwah. Solusi atas problem ini terangkum dalam kata “mujahadah.” Bagaimana seorang aktifis melakukan muhasabah, menyadari kelemahannya dan melakukan perbaikan diri. Masa lalu memang tidak bisa diubah, tetapi pengaruhnya bisa dikendalikan.

Problematika internal yang keempat adalah penyesuaian diri. Yakni penyesuaian diri terhadap karakteristik pendekatan dan sikap dakwah yang melekat pada masing-masing marhalah dan orbit dakwah. Sebagaimana corak dakwah yang berbeda antara fase Makkiyah dan Madaniyah, bahkan masa sirriyah dan jahriyah pada fase Makkah yang juga berbeda, dakwah saat ini juga mengalami hal yang sama; ada tahap-tahapnya. Antara mihwar tanzhimi yang berkonsentrasi pada konsolidasi internal dan mihwar muassasi yang konsen pada perjuangan politik membuat beberapa kader dakwah tidak mampu menyesuaikan diri. Hambatannya bisa karena sifat “kelambanan” kemanusiaan, kecenderungan jiwa, keterbatasan dan perbedaan tsaqafah, sampai keterbatasan kapasitas. Untuk mengatasi problem ini dibutuhkan peran kelembagaan dakwah. Jamaah dakwah perlu melakukan persiapan perubahan fase dakwah, mensosialisasikan cara pandang yang disepakati tentang batas-batas pengembangan dakwah sehingga jelas mana yang termasuk pengembangan (tathwir) dan mana yang termasuk penyimpangan (inhiraf). Jamaah dakwah juga harus mendefinisikan masa yang asholah dan tsawabit, serta mana yang mutaghayyirat.

Problem internal kelima adalah friksi internal. Friksi ini bisa timbul dari lingkungan yang kecil seperti intern sebuah lembaga dakwah, atau antarlembaga, atau antarpersonal pendukung dakwah. Banyak gerakan dakwah yang harus tutup usia dan kini tinggal nama karena problematika ini. Friksi dalam sejarah dakwah memberi beberapa pelajaran penting bagi kita: bahwa friksi merupakan indikasi kelemahan proses tarbiyah, friksi menandakan adanya kelemahan dalam penjagaan diri para aktifis dakwah, restrukturiasi dakwah tepat dilakukan terhadap orang-orang

yang telah memahami karakter dakwah itu sendiri, friksi juga bukti keberadaan ego manusia, penumbuhan al-wa’yul islami (kesadaran berislam) dan al-wa’yu ad-da’awi (kesadaran dakwah) lebih utama dibandingkan sekedar meletupkan hamasah (semangat) bergerak, dan sangat mungkin friksi timbul karena hadirnya pihak ketiga yang sengaja “memecah” jamaah.

Tulisan ini adalah hasil telaah dari buku “tegar Di jalan Dakwah” yang ditulis oleh Ustadz Cahyadi Takariawan.


No comments:

Post a Comment