Saturday 7 July 2012

Adakah Batasan Taat kepada Pemimpin?


Keta’atan kepada ulil amri atau qiyadah dalam konteks kejama’ahan menjda salah satu unsur penting dalam gerakan jama’ah tersebut. Karena hal tersebut akan menentukkan sejauh mana para jundi mau ikut dan mengikuti setiap keputusan yang telah dibuat dan diputuskan oleh para pemimpin. Betapa pentingnya sebuah ketaatan sehingga ada sebuah prinsip yang mengatakan "Tidak ada Islam tanpa berjamaah, sementara tidak ada jamaah tanpa ada kepemimpinan, dan tidak ada kepimpinan tanpa ketaatan." Prinsip atau ungkapan ini menggambarkan bahwa dasar dari penggerak islam adalah ketaatan. Sejauh mana umat islam taat terhadap syariat –syariat silam, sejauh mana ketaatan umat islam terhadap perintah – perintah Rasul serta sejauh mana umat islam taat kepada perintah pemimpin umat islam itu sendiri.
Jika umat islam tidak memiliki ketaatan maka tidak akan muncul sebuah kepemimpinan, dan tidak ada persatuan dalam barisan jamaah sehingga jika tidak adanya persatuan dalam bentuk jamaah maka islam akan sangat mudah dihancurkan oleh musuh – musuh islam. Oleh karena itulah saat ini musuh – mush islam tersebut tengah berusaha bagaimana ketaatan yang dimiliki oleh umat islam ini bisa hilang sehingga mereka dengan mudah dapat mengahancurkan islam.
Oleh karena ketaatan ini merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki oelh seorang muslim, maka Imam Syahid Hasan Al Banna menjadikannya salah satu dari 10 (sepuluh) rukun bai’at jama’ah ikhwanul muslimin. Karena jika seorang yang bergabung dalam sebuah barisan jama’ah tidak memiliki ketaatan, maka hal itu akan menyulitkan jama’ah itu untuk mencapai target – target dakwahnya dikarenakan orang – orang yang ada didalamnya hanya mau mengerjakan hal – hal yang mudah, atau hanya mau bekerja mengikuti perintah dikondisi – kondisi tertentu saja.
Seperti yang telah disampaikan oleh  imam syahid Hasan Al Bana mengenai definisi dari ta’at itu sendiri.  Ketaatan adalah melaksanakan perintah dan merealisir dengan serta merta,baik dalam keadaan sulit maupun mudah,saat bersemangat maupun malas. Dari pebgertian diatas dapat kita simpulkan bahwa ketaatan adalah sebuah bentuk pelaksanaan terhadap perintah yang diberikan disegala kondisi. Ketika ada orang yang mengerjakan perintah hanya pada keadaan yang mudah dan pada saat bersemangat saja tetap ketika dalam keadaan sulit ia enggan melaksanakan perintah maka hal tersebut tidak bisa dikatakan ta’at.
Keta’atan yang disebutkan diatas ditujukkan kepada Allah swt, Rasul dan Waliyul amr, seperti yang tertuang dalam Al-qur’an surat an nisa ayat 59:
  
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An nisa : 59)
Dalam ayat diatas, kita (orang – orang yang beriman) diperintahkan oleh Allah swt untuk ta’at kepada Allah swt, ta’at kepada Rasul dan juga ulil amri. Sehingga ayat ini menjadi landasan syar’i tentang keta’atan seseorang kepada orang lain (ulil amri).
keta’atan kepada Allah swt dan Rasulullah saw bersifat wajib. Tidak ada perdebatan dalam menta’ati Allah swt dan Rasul. Lantas bagaimana dengan keta’atan terhadap makhluk (ulil amri) terlebih dalam konteks kejama’ahan?
Inilah yang menjadi pembedanya. Jika keta’atan kepada Allah swt dan Rasul tidak ada batasan. Apa yang diperintahkan oleh Allah swt dan yang diperintahkan oleh Rasulullah saw, sebagai orang – orang yang beriman wajib untuk menta’atinya atau melaksanakan baik dalam keadaan mudah maupun sulit, baik dalam kondisi semangat ataupun malas. Untuk keta’atan terhadap ulil amri, ada batasan yang diberikan terhadahal ini, batasan tersebut ialah :
1.      Siapa yang memberi Perintah
Dalam ayat diatas (An Nisa ayat 59 ) terdapat kata “wa ulil amri minkum”  atau jika diterjemahkan “...dan ulil amri diantara kamu..” dan ayat ini dibuka dengan kalimat “hai orang – orang yang beriman...”  maka Allah swt dalam ayat ini telah memberikan batasan siapa saja yang boleh dita’ati selain Allah swt dan Rasul, yaitu kepada orang – orang yang beriman. kata – kata ini menjadi penegasan selain kepada Allah swt dan Rasul, kepada siapa keta’atan itu boleh diberikan. Sehingga jika perintah itu datang dari ulil amri yang merupakan orang beriman maka kita harus mengikuti perintahnya tersebut. Sedangkan jika yang menjadi ulil amri adalah orang yang tidak beriman maka kita tidak wajib untuk mengikuti perintahnya tersebut.
Hal ini juga menjadi pedoman bagi setiap muslim jika ingin memilih seorang yang akan dijadikan ulil amri. Kriteria keimanan haruslah menjadi pertimbangan serius, mengingat kita hanya diperntahkan untuk mengikuti dan ta’at kepada perintah seorang ulil amri yang beriman kepada Allah swt.
2.      Content atau isi dari perintah
Dalam hadist Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim :
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Hadist diatas memberikan garis batas yang jelas tentang sejauh mana keta’atan yang boleh kita berikan kepada makhluk (manusia/ulil amri). Kita tidak boleh memberikan keta’atan kita untuk hal – hal maksiat kepada Allah swt karena keta’atan itu diberikan kepada manusia hanya untuk hal – hal kebaikan. Sehingga ketika ada ulil amri yang memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang melanggar syariat, maka kita wajib menolaknya dan kita juga berkewajiban untuk mengingatkan ulil amri tersebut akan kesalahannya dalam memberikan perintah. Tetapi ketika perintah itu tidak melanggar syariat maka kita selaku jundi wajib mengikuti perintah tersebut dalam kondisi apapun.
Jadi dapat disimpulkan bahw:
1.      Keta’atan kepada Allah swt dan Rasulullah saw bersifat mutlak.
2.      Keta’atan terhadap makhluk (ulil amri) tidak bersifat mutlak, ada batasan – batasan yang diberikan. Batasan – batasan tersebut ialah: yang pertama, siapa yang memberikan perintah, kita hanya boleh memberikan keta’atan kita kepada orang – orang yang telah terbukti keimanannya, karena itu dalam mengangkat seorang ulil amri faktor keimanan menjadi hal yang harus diperhatikan. Kita tdak wajib dan tidak boleh memberikan keta’atan kepada orang – orang yang tidak beriman. Yang kedua, isi perintah yang diberikan, kita tidak boleh ta’at dan melaksanakan perintah yang melanggar syariat. 
3. jadi jika perintah itu berasal dari pemimpin atau ulil amri yang sudah terbukti keimanannya dan perintahnya tidak beretentanag dengan syariat islam maka bagi para jundi wajib untuk mengikuti dan taat terhadap perintah tersebut. 


No comments:

Post a Comment